Agam – Kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) mulai marak lagi terjadi di Kabupaten Agam, pertama ada seorang pelaku pembunuhan istri berinisial A (28) dengan tiga belas tusukan di Jorong Batang Buo, Nagari Biaro Gadang, Kecamatan Ampek Angkek, Agam. Dan yang kedua ada juga terjadi seorang pria berinisial SY (50) tewas ditusuk oleh D, karena kedapatan berselingkuh dengan istrinya berinisial E. Peristiwa itu terjadi di rumah E di Kampuang Bajanjang, Jorong Bantiang Selatan, Nagari Malalak Barat, Kecamatan Malalak, Kabupaten Agam, Jumat  (26/11).

Menanggapi adanya kekerasan dalam rumah tangga ini, Dr (cand). Riyan Permana Putra, S.H., M.H., yang juga merupakan Ketua Perkumpulan Pengacara dan Konsultan Hukum Indonesia (PPKHI) Kota Bukittinggi dan Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bukittinggi menyatakan berterima kasih atas kepercayaan masyarakat karena dua kasus hukum di atas dipercayakan kepadanya dan ia juga menyebutkan beberapa solusi hukum untuk mencegah kekerasan dalam rumah tangga.

“Kami mengucapkan terima kasih, Alhamdulillah atas kepercayaan masyarakat atas dua kasus hukum yang terjadi di atas dipercayakan kepada kami. Kami siap membantu karena berdasarkan ketentuan Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 beserta perubahannya (UUD 1945), diatur bahwa “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukumdan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 diatur, bahwa “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”. Kemudian dalam Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 juga diatur, bahwa “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”. Oleh karenanya setiap manusia berhak memperoleh jaminan perlindungan hukum dan hak asasi untuk mendapatkan kesempatan dan manfaat yang sama dalam persamaan dan keadilan,” katanya di Bukittinggi, pada Minggu, (5/12/2021).

Riyan pun mengungkapkan bahwa terkait larangan kekerasan dalam rumah tangga memang sudah diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

“Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga menurut pasal 5 juga telah memberikan larangan bagi setiap orang untuk melakukan kekerasan baik kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual maupun penelantaran rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah,” tambahnya.

Alumni Universitas Indonesia ini juga menjelaskan bahwa upaya mencegah ataupun penghapusan KDRT itu harus holistik dengan melibatkan semua pihak. Apalagi di Ranah Minang, Sumatera Barat kita memiliki adagium adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah. Jadi, lembaga adat dan agama dapat menjadi kontrol sosial pencegahan kekerasan dalam rumah tangga di Ranah Minang.

“Dan upaya penghapusan KDRT merupakan upaya yang melibatkan banyak pihak dan membutuhkan penegakan hukum yang konsisten. Khususnya di Ranah Minang, Sumatera Barat kita bisa melibatkan lembaga Adat dan Agama. Diperlukan juga sosialisasi mengenai Undang-Undang Penghapusan KDRT dan Peraturan Pemerintahnya serta informasi teknis penerapannya di kalangan penegak hukum dan masyarakat luas merupakan kebutuhan mendesak yang perlu direncanakan dengan baik. Selain itu penegakan hukum untuk menerapkan Undang-Undang Penghapusan KDRT yang sarat dengan perlindungan hak-hak korban dan keluarganya memerlukan komitmen yang kuat dengan penghargaan yang tinggi terhadap nilai keadilan, non diskriminasi dan hak asasi manusia sebagaimana telah dijamin oleh konsititusi,” terangnya.

Kita ketahui bersama bahwa tindakan KDRT merupakan masalah yang kompleks dan ancaman nyata baik secara fisik maupun non fisik yang harus ditangani secara profesional dan bertanggungjawab. Tingginya angka kemiskinan, pengangguran dan angka putus sekolah serta rendahnya tingkat sebagian masyarakat Indonesia khususnya perempuan dan anak merupakan faktor utama dan rentan menjadi korban KDRT.

Permasalahan tersebut jika tidak segera diantisipasi dan ditangani dengan baik, dapat mengganggu upaya pemulihan hak-hak peremuan dan anak seperti hak untuk hidup, hak untuk mendapatkan perlindungan serta hak untuk bersosialisasi dilingkungannya, adapun dampak KDRT sangat kompleks dan mempengaruhi ketahanan individu maupun ketahanan keluarga.

Kekhusuan Penanganan Perkara KDRT

Riyan pun mengungkapkan kekhususan dalam penanganan perkara KDRT sebagaiana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, yaitu bahwa keterangan seorang saksi korban saja sudah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah.

Selanjutnya, berdasarkan ketentuan Pasal 55 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 yang merupakan ketentuan khusus dalam penanganan tindak KDRT, dinyatakan bahwa : “Sebagai salah satu alat bukti yang sah, keterangan seorang saksi korban saja sudah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah, apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya”.

Oleh karenanya berdasarkan ketentuan di atas terkait pembuktian dalam penanganan tindak KDRT, salah satu alat bukti yang sah (berupa) keterangan seorang saksi korban saja sudah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah, apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya.
Selain itu korban KDRT harus mengetahui bahwa pentingnya visum et repertum sebagai laporan tertulis hasil pemeriksaan terhadap korban yang memiliki kekuatan hukum yang sama sebagai alat bukti.

Upaya Perlindungan terhadap Korban KDRT

Selanjutnya terkait perlindungan bagi korban KDRT, dalam ketentuan Pasal 21 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 dinyatakan bahwa sebagai salah satu bentuk pelayanan kesehatan yang diberikan kepada Korban KDRT maka tenaga kesehatan harus membuat laporan tertulis hasil pemeriksaan terhadap korban dan visum et repertum atas permintaan penyidik kepolisian atau surat keterangan medis yang memiliki kekuatan hukum yang sama sebagai alat bukti.

Dan berdasarkan kajian hukum PPKHI Bukittinggi ada beberapa langkah perlindungan hukum yang dapat ditempuh jika ada masyarakat menjadi korban KDRT, diantaranya adalah jalur litigasi dan non-litigasi.
Dalam hal masyarakat mengalami suatu tindak kekerasan dalam rumah tangga, maka tindakan/ penanganan hukum terhadap pelaku dapat dilakukan melalui beberapa upaya, diantaranya : Penanganan non-Litigasi (non-Jalur Peradilan), jalur yang bisa ditempuh, yaitu melalui pengaduan melalui Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) pada Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia serta Pengaduan melalui Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan).

Dan bisa juga melalui Penanganan Litigasi (Jalur Peradilan), dengan melalui permohonan dan/atau gugatan perceraian (perdata) melalui Pengadilan (Pengadilan Agama atau Pengadilan Negeri). Karena berdasarkan Pasal 19 huruf b, huruf d dan huruf f Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (PP No. 9/1975), dimana secara tegas diatur bahwa : Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan : Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain.

Penanganan melalui jalur litigasi kedua yang bisa juga ditempuh, yaitu dengan melapor kepada Kepolisian Republik Indonesia melalui Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Kepolisian Negara Republik Indonesia (Unit PPA). Karena berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 Peraturan KAPOLRI Nomor 10 tahun 2007 tentang Organinsasi dan Tata Kerja Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (Unit PPA) Di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Per. Kapolri No. 10/2007), dijelaskan bahwa Unit Pelayanan Perempuan dan Anak yang selanjutnya disingkat  Unit PPA adalah Unit yang bertugas memberikan pelayanan, dalam bentuk perlindungan terhadap perempuan dan anak yang menjadi korban kejahatan dan penegakan hukum terhadap pelakunya.(*)

 

Bagikan:
Hubungi Pengacara