
Riyan Permana Putra Ungkap Pelajaran dari Kematian Narapidana Lapas Bukittinggi
Bukittinggi – Sebagaimana dilansir dari Tempo, dua warga binaan Lapas Bukittinggi meninggal dan puluhan lainnya dirawat diduga akibat keracunan miras oplosan.
Menanggapi hal ini, Dr (c). Riyan Permana Putra, SH, MH, CLOP, tokoh muda Bukittinggi mengajak agar pejabat terkait mengambil pelajaran dari kematian narapidana Lapas Bukittinggi, pertama ke depan agar ada peningkatan aspek kesehatan dan dan keamanan di Lapas. Pihak penegak hukum harus memastikan ketersediaan makanan dan minuman yang berkualitas. Hal ini sejalan dengan Peraturan Pemerintah (PP) No. 32 Tahun 2009 yang pada pokoknya menjelaskan bahwa Kepala Lapas bertanggung jawab atas pengelolaan makanan yang memenuhi syarat-syarat kesehatan dan gizi.
Selain itu, Riyan Permana Putra mengungkap pelajaran kedua
dari kematian narapidana Lapas Bukittinggi, yaitu kedepan juga perlu diperhatikan juga kualitas bangunan tempat tahanan yang memperhatikan kondisi udara, suhu, cahaya, dan lain-lain. Penjagaan terhadap keselamatan tahanan juga harus dilakukan dengan pemisahan blok tahanan dan adanya mekanisme resolusi konflik khusus bagi tahanan yang berseteru.
Serta yang ketiga, melihat masih adanya kelompok rentan yang meninggal seperti anak-anak,
perempuan hamil, dan lansia, pihak penegak hukum perlu membuat pedoman khusus untuk menjaga kesehatan dan keamanan mereka. Polisi, jaksa dan hakim juga perlu memiliki sensitivitas dalam menentukan apakah kasus anak
dan perempuan hamil benar-benar layak mendapatkan hukuman penjara.
Riyan Permana Putra melanjutkan, terkait pelajaran terakhir dari dari kematian narapidana Lapas Bukittinggi lembaga penahanan harus membuka penyelidikan yang independen terhadap setiap kematian yang mencurigakan. Apabila ditemukan ada tindak pidana baik yang disengaja atau tidak, keluarga harus bisa mendapatkan informasi yang jelas, serta ganti rugi. Dalam hal terjadi tindak pidana, misalnya penganiayaan, pelaku harus mendapatkan hukuman. Sebab, sekalipun orang itu diduga bersalah melakukan tindak pidana, ia tetap tidak kehilangan haknya untuk hidup.
Riyan Permana Putra juga menyebutkan berdasarkan data Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bukittinggi pada tahun 2016 lalu diperoleh kematian paling banyak terjadi di lapas (65.1%), diikuti dengan rutan (26.5%), dan rumah tahanan kepolisian (8.4%).
Riyan Permana Putra menambah kan di Indonesia, pengelola tempat tahanan memiliki mekanisme pemeriksaan yang harus dipenuhi ketika seorang tahanan meninggal. Apabila meninggal di tahanan kepolisian, polisi melakukan visum et repertum dan memberitahukan hasilnya kepada keluarga, sebagaimana diatur dalam Peraturan Kepala Kapolri Nomor 4 Tahun 2015 Tentang Perawatan Tahanan di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia,
Pasal 16 ayat (1), tukasnya.
Apabila meninggal di rumah tahanan (rutan) atau lembaga pemasyarakatan (lapas), manajemen penjara harus membuat surat keterangan kematian atau melaporkan ke polisi apabila kematiannya dianggap tidak wajar, sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 1999 Tentang Syarat-Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Wewenang, Tugas dan Tanggung Jawab Perawatan Tahanan, Pasal 28, ujarnya.
“Keberadaan mekanisme pemeriksaan ini patut untuk diapresiasi, tapi independensi penyelidikannya harus terus diawasi,” pesannya.
Menurut Riyan Permana Putra, penjara didirikan untuk tugas yang mulia. Ruang tahanan kepolisian dan rutan, didirikan untuk menjaga tersangka atau terdakwa sampai hakim mengetuk palu dan keadilan ditegakkan. Sementara lapas, menurut Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan, bertujuan agar Warga Binaan Pemasyarakatan menyadari kesalahannya, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab. Tujuan semacam ini akan sia-sia ketika tahanan meninggal di dalam. Lebih sia-sia lagi ketika tidak ada pelajaran yang bisa dipetik dari kematiannya, ungkapnya.
Sebelumnya diberitakan Tempo, dua warga binaan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas IIA Bukittinggi, Sumatera Barat, meninggal dan puluhan lainnya dirawat diduga akibat keracunan minuman keras oplosan campuran alkohol bahan baku parfum. Peristiwa itu terjadi pada Rabu, 30 April 2025.
Korban pertama berinisial I meninggal di RSUD Bukittinggi sekitar pukul 16.30 WIB, dua jam setelah dilarikan dari lapas. Diagnosa awal terjadi intoksikasi atau keracunan alkohol akibat miras oplosan itu.
Korban kedua berinisial MA meninggal pada Kamis pagi, 1 Mei 2025 di Rumah Sakit Achmad Mochtar (RSAM). “Pasien mengalami intoksikasi alkohol dengan kalium dan CO2 meningkat serta gagal napas,” kata Direktur Utama RSAM Busril.
Busril, menyebutkan mulanya rumah sakitnya menerima 22 warga binaan. Dua orang dalam kondisi kritis dan harus dirawat dengan ventilator di ruang ICU. Saat ini, sepuluh narapidana sudah dibolehkan pulang. Sebelas masih dirawat dengan tiga di antaranya kritis, dan satu meninggal.
Kepala Kantor Wilayah Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan Sumbar, Marselina Budiningsih, mengatakan pihaknya telah membentuk tim investigasi bersama Polresta Bukittinggi.
“Dari hasil pemeriksaan sementara, alkohol 70 persen yang digunakan untuk program kemandirian membuat parfum diduga dicuri dan dicampur dengan minuman kemasan serta es,” ujarnya, Kamis.
Alkohol itu awalnya dicuri untuk membersihkan tato, namun kemudian disalahgunakan untuk konsumsi bersama.
Kementerian akan menelusuri kemungkinan kelalaian petugas.
Kepala Polresta Bukittinggi, Kombes Yessi Kurniati, menyatakan pihaknya telah menyita barang bukti berupa wadah bekas miras oplosan dan memeriksa sejumlah warga binaan. “Masih ada yang belum dapat dimintai keterangan,” ujarnya.
Kapolda Sumatera Barat Irjen Gatot Tri Suryanta menyatakan telah memerintahkan Kapolres Bukittinggi untuk mendalami kasus ini. “Penyelidikan butuh waktu,” ujarnya.(Tim Media Bukittinggi Agam/Forum Pers Independen Indonesia (FPII) Bukittinggi Agam)