Riyan Permana Putra sebut Penahanan 900 Ijazah Pangkal Meningkatnya Angka Pengangguran di Bukittinggi dan Dorong Ijazah Digita
Bukittinggi — Warga Bukittinggi yang merupakan praktisi hukum dan konsultan hukum Riyan Permana Putra, menanggapi keras temuan Ombudsman RI Perwakilan Sumatera Barat yang menemukan 927 ijazah pelajar SLTA masih tertahan di sejumlah sekolah di Bukittinggi, sebagaimana dilansir dari Antara. Ia menilai peristiwa ini diduga bukan hanya pelanggaran administratif, tetapi juga diduga berpotensi menimbulkan konsekuensi hukum serta dampak sosial yang luas, termasuk meningkatnya angka pengangguran di Kota Bukittinggi.
Temuan Ombudsman sebelumnya mengungkap bahwa SMKN 1 Bukittinggi menahan sekitar 900 ijazah, serta SMA 1 Bukittinggi menahan 27 ijazah, diduga karena adanya kekhawatiran siswa terhadap potensi pungutan ketika mengambil ijazah.
Riyan: Penahanan Ijazah Diduga Merupakan Pelanggaran Hukum
Riyan menegaskan bahwa penahanan ijazah adalah tindakan yang jelas-jelas bertentangan dengan regulasi nasional.
Riyan merujuk pada:
Permendikbudristek Nomor 58 Tahun 2024, yang menyatakan ijazah merupakan hak peserta didik setelah lulus dan tidak boleh ditahan dengan alasan apa pun, termasuk tunggakan biaya sekolah.
Peraturan Komite Sekolah Nomor 16 Tahun 1975, yang menegaskan bahwa penggalangan dana komite hanya berupa sumbangan dan bantuan, bukan pungutan wajib.
Peraturan Sekjen Kemendikbudristek Nomor 1 Tahun 2022, yang memperkuat bahwa penahanan ijazah adalah praktik maladministrasi dan harus dihentikan.
Menurut Riyan, aturan tersebut mewajibkan sekolah menyerahkan ijazah tanpa syarat apa pun. “Ijazah adalah hak mutlak siswa. Tidak ada alasan apa pun yang membolehkan sekolah menahannya. Penahanan ini diduga dapat dikualifikasi sebagai maladministrasi bahkan penyalahgunaan wewenang,” tegasnya.
Riyan menambahkan, jika ada unsur pungutan dalam penyerahan ijazah, maka dapat menjadi pintu masuk penegakan hukum: “Jika ada indikasi transaksi atau pungutan, itu bisa memenuhi unsur tindak pidana penyalahgunaan kewenangan. Ini bukan isu sepele.”
Analisis Hukum: Ada Potensi Jalur Administratif dan Perdata
Riyan menerangkan bahwa penahanan ijazah membuka peluang:
Sanksi administratif dari dinas pendidikan, Ombudsman, hingga Kemendikbudristek.
Gugatan perdata oleh wali murid atas kerugian materiil maupun immateriil akibat terhalangnya hak pendidikan.
Pelanggaran prinsip konstitusional terkait hak atas pendidikan dan pekerjaan.
Riyan juga menyoroti pernyataan Ombudsman bahwa Dinas Pendidikan “bergerak lambat” dan menilai hal tersebut sebagai bentuk kegagalan pengawasan.
Dampak pada Pengangguran: Ijazah Ditahan, Anak Muda Kehilangan Akses Kerja
Riyan mengaitkan penahanan ratusan ijazah ini dengan kondisi pengangguran di Bukittinggi, menilai hal ini berpotensi memperparah situasi ketenagakerjaan.
Data resmi mencatat:
Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Bukittinggi tahun 2023 mencapai 4,99% (BPS Bukittinggi).
Jumlah pengangguran tercatat 3.295 jiwa berdasarkan data Dinas Tenaga Kerja Kota Bukittinggi.
Menurut Riyan, ratusan lulusan yang tidak dapat mengambil ijazahnya otomatis tidak dapat melamar pekerjaan, mengisi formulir CPNS/PPPK, atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
“Ijazah adalah pintu masuk ke dunia kerja. Ratusan anak muda kehilangan pintu itu karena kesalahan administrasi sekolah. Ini sangat merugikan kota dan generasi muda,” ujarnya.
Ia mengingatkan bahwa tingginya pengangguran bisa memperburuk kondisi sosial seperti meningkatnya beban ekonomi keluarga dan risiko kriminalitas pada anak muda yang kehilangan kesempatan kerja.
Dorong Ijazah Digital dan Penyerahan Aktif
Riyan mengapresiasi langkah Ombudsman yang meminta sekolah menghubungi langsung wali murid bahkan mengantarkan ijazah ke rumah. Ia menyatakan langkah ini wajib dilakukan untuk menghapus hambatan administrasi yang merugikan siswa.
Ia juga mendorong digitalisasi ijazah yang telah dipersiapkan Kemendikbudristek untuk mencegah kasus serupa terulang.
“Kajian Ombudsman adalah alarm keras. Ini harus jadi momentum perbaikan. Tidak boleh ada lagi sekolah yang menahan ijazah. Siswa telah menyelesaikan kewajibannya, sekolah pun wajib menyelesaikan hak mereka,” tegas Riyan.
Riyan menegaskan bahwa temuan 927 ijazah tertahan adalah tamparan keras bagi tata kelola pendidikan di Bukittinggi. Ia mendesak adanya evaluasi menyeluruh, sanksi tegas kepada sekolah yang melanggar, serta tindakan cepat dari Dinas Pendidikan agar praktik seperti ini tidak kembali mencederai masa depan pelajar.
“Ini bukan sekadar soal kertas ijazah. Ini soal masa depan ratusan anak. Negara wajib hadir, sekolah wajib taat aturan, dan Dinas Pendidikan wajib bertindak, bukan diam,” pungkasnya.(*)