Riyan Permana Putra Dampingi Kasus Dugaan Persetubuhan Anak di Agam: “Kami Harap Pelaku Segera Diadili”

Bukittinggi – Pengacara Dr (c). Riyan Permana Putra, SH, MH bersama Gusti Prima Maulan, SH, Faizal Perdana Putra, SH, dan Ahsanul Raihan, SH resmi mendampingi pelapor dalam kasus dugaan persetubuhan terhadap anak yang dilaporkan ke Polresta Bukittinggi, Sumatera Barat. Kasus ini menyeret dugaan kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur yang terjadi sekitar tahun 2019 di wilayah Kamang Magek, Kabupaten Agam.

Laporan tercatat dalam STTLP/B/157/VIII/2025/SPKT/POLRESTA BUKITTINGGI/POLDA SUMBAR, dengan pelapor atas nama YH, ibu dari korban.

Kejadian Lama, Luka yang Masih Membekas

Meski peristiwa terjadi beberapa tahun lalu, YH memberanikan diri melapor setelah anaknya mulai mengungkap trauma masa lalu. Korban diduga mengalami kekerasan seksual saat masih berusia sekitar 9 tahun dan menjadi santri di sebuah TPA.

“Saya tidak bisa diam terus. Anak saya berhak dapat keadilan, meski terlambat,” kata YH.

Riyan: Polisi Wajib Tindak Cepat Sesuai Aturan

Pengacara Riyan Permana Putra menegaskan bahwa kepolisian memiliki kewajiban hukum dan etis untuk bertindak cepat, profesional, dan akuntabel dalam menangani laporan masyarakat, terlebih kasus yang menyangkut anak.

“Kami berharap Polresta Bukittinggi dapat segera mengungkap kebenaran kasus ini. Keluarga korban masih dalam kondisi trauma dan sangat mengharapkan kejelasan hukum. Sesuai aturan, polisi tidak boleh menunda-nunda proses penegakan hukum,” tegas Riyan.

Aturan Polisi Wajib Tindak Cepat

Penanganan laporan oleh polisi wajib merujuk pada:

Pasal 14 ayat (1) huruf g UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang menyatakan:

“Kepolisian bertugas melayani masyarakat untuk kepentingan penegakan hukum secara cepat, tepat, dan akurat.”

Perkap No. 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana, Pasal 2:

“Penyidik wajib menangani laporan/pengaduan secara profesional, proporsional, transparan, dan akuntabel.”

Prinsip Perlindungan Anak dalam UU No. 35 Tahun 2014, yang menuntut setiap aparat hukum memberi perlakuan khusus dan mempercepat proses hukum dalam perkara yang melibatkan anak.

“Dalam perkara anak, waktu adalah luka. Semakin lama ditunda, semakin besar penderitaan korban. Polisi bukan hanya penegak hukum, tapi juga pelindung masyarakat,” tambah Riyan.

Landasan Hukum yang Dikenakan

Riyan menyebut, jika terbukti bersalah, pelaku dapat dijerat dengan:

Pasal 81 ayat (1) dan (2) UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak
Pasal 76D dan 76E UU yang sama
Pasal 290 KUHP
UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS)

Ancaman pidana maksimal bisa mencapai 15 tahun penjara dan denda hingga Rp5 miliar.

Yurisprudensi dan Pendekatan Pro-Victim

Riyan juga akan menggunakan rujukan yurisprudensi Mahkamah Agung, seperti:

Putusan MA No. 1125 K/Pid.Sus/2014
Putusan MA No. 1844 K/Pid.Sus/2017

Keduanya menegaskan bahwa kesaksian korban anak dapat dijadikan alat bukti utama, terutama dalam kasus tanpa saksi langsung, jika didukung oleh alat bukti lain.

“Kami tidak ingin korban menjadi korban kedua kali dalam proses hukum. Hukum harus berpihak pada korban, bukan mempersulit,” ujar Riyan.(*)

Bagikan:
Hubungi Pengacara