
Sengketa Tanah Adat di Baso Memanas: Riyan Permana Putra Bela Suku Chaniago Gugat PT KAI, Dua Tergugat Pribadi, dan BPN Agam, Tuntut Ganti Rugi Rp 2 Miliar
Bukittinggi – Sengketa tanah adat kembali menyeruak di Sumatera Barat. Kali ini, perkara bermula dari lahan kaum Suku Chaniago yang terletak di Jalan Raya Baso No. 675 (Depan Pasar Baso), Jorong Baso, Nagari Tabek Panjang, Kabupaten Agam, Provinsi Sumatera Barat.
Kuasa hukum WS dan Ir. SS, yakni praktisi hukum Dr (c). Riyan Permana Putra, S.H., M.H. bersama Faizal Perdana Putra, SH mendaftarkan gugatan perdata dengan nomor 6/Pdt.G/2025/PN. Sidang telah memasuki agenda pembuktian dan diperkirakan akan menjadi salah satu perkara tanah yang menyita perhatian publik, sebab menyangkut hak adat, kepentingan warga, dan aset negara.
Isi Gugatan: Hak Akses Jalan, Sertifikasi Bermasalah, dan Tuntutan Ganti Rugi
Dalam gugatan, PT Kereta Api Indonesia (KAI) Divre Sumatera Barat menjadi Tergugat IV. Menurut Riyan, kliennya berhak mendapatkan akses jalan menuju tanah milik mereka melalui lahan eks jalur kereta api.
Selain itu, muncul dugaan bahwa oknum berinisial S (Tergugat I) dan S (Tergugat II) berupaya mensertifikatkan tanah yang selama ini telah dikuasai Kaum Chaniago secara turun-temurun. BPN Kabupaten Agam pun ditarik sebagai Turut Tergugat karena kewenangannya dalam proses pendaftaran tanah.
Tak hanya menuntut pengakuan hak dan akses, Riyan juga menegaskan adanya kerugian besar yang dialami kliennya akibat perbuatan para tergugat. Dalam petitum, ia menuliskan:
“Menyatakan perbuatan Para Tergugat telah menimbulkan kerugian sebesar Rp 2.000.000.000 (Dua Miliar Rupiah), maka sepantasnyalah Para Tergugat mengganti kerugian Para Penggugat tersebut.”
Rincian kerugian tersebut adalah:
Kerugian Materiil: Rp 150.000.000 (Seratus Lima Puluh Juta Rupiah)
Kerugian Immateriil: Rp 1.850.000.000 (Satu Miliar Delapan Ratus Lima Puluh Juta Rupiah)
Dengan demikian, total kerugian yang diminta diganti mencapai Rp 2 miliar.
Dasar Hukum Gugatan
1. Pasal 33 UUPA (UU No. 5 Tahun 1960): Mengakui tanah adat sepanjang masih ada dan hidup dalam masyarakat.
2. Pasal 6 UUPA: Hak atas tanah tidak boleh menutup hak akses pihak lain.
3. Pasal 1365 KUHPerdata: Perbuatan melawan hukum yang merugikan orang lain wajib diganti.
4. Pasal 3 Permen ATR/BPN No. 18 Tahun 2019: Pendaftaran tanah harus melalui verifikasi riwayat penguasaan.
5. Pasal 18B ayat (2) UUD 1945: Negara wajib menghormati hak-hak tradisional masyarakat adat.
Doktrin & Yurisprudensi yang Relevan
Doktrin Hak Akses Jalan (Noordelijke Doctrine): Tiada sebidang tanah boleh terisolasi.
Yurisprudensi MA No. 2638 K/Pdt/1986: Hak kepemilikan tanah adat tetap sah selama tidak dilepaskan.
Yurisprudensi MA No. 169 K/Sip/1974: Hak akses jalan mutlak demi asas keadilan.
Yurisprudensi MA No. 375 K/Sip/1971: Hak ulayat diakui selama masih diakui masyarakat hukum adat.
Analisis: Antara Hak Adat dan Kepastian Hukum
Riyan Permana Putra, menilai kasus ini kompleks karena mempertemukan hukum adat dengan sistem administrasi negara.
“Jika tanah itu terbukti milik kaum Chaniago secara turun-temurun, maka upaya sertifikasi atas nama pihak lain adalah cacat hukum. Negara wajib mengutamakan verifikasi adat sebelum memberi hak baru,” jelasnya.
Sementara itu, Riyan Permana Putra mengingatkan bahwa persoalan ini juga terkait kerugian immateriil yang nilainya besar.
“Kerugian immateriil sering kali jauh lebih besar dari kerugian materiil, karena menyangkut martabat, hak sosial, dan keberlanjutan identitas komunitas adat,” ujarnya.
Dinamika Persidangan
Sidang yang kini memasuki agenda pembuktian diperkirakan akan menjadi penentu. Pihak penggugat sudah menghadirkan saksi adat, dokumen penguasaan tanah, serta berkemungkinan akan menambah keterangan ahli untuk memperkuat klaim.
Jika dikabulkan, tuntutan ganti rugi Rp 2 miliar akan menjadi salah satu putusan monumental di Sumatera Barat, sekaligus memberi sinyal kuat bahwa perbuatan yang mengganggu hak adat dapat menimbulkan konsekuensi hukum serius.
“Perkara ini adalah ujian keadilan. Hak adat, hak akses, dan kerugian nyata maupun immateriil harus dihormati,” tegas Riyan Permana Putra. (*)