Riyan Permana Putra sebut Marfendi Wakil Walikota Bukittinggi Boleh Klaim Prestasi Pemerintah, Tapi…
Bukittinggi – Sebagaimana dilansir dari scientia, Kota Bukittinggi pada 2025 akan membangun gedung Perpustakaan. Dana untuk pembangunan bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebesar Rp11 miliar.
Wakil Wali Kota Bukittinggi, Marfendi, mengungkapkan, cikal bakal pembangunan Perpustakaan daerah, bermula dirinya secara pribadi datang ke kantor Pustakan dan Arsip Pemko Bukittinggi.
“Dari tinjauan itu, Kantor Pustaka tersebut tak layak dijadikan Pepustakaan yang ada di tengah kota Bukittinggi, yang dikatakan Bukittinggi sebagai kota Pendidikan,” ujar Marfendi di ruang kerjanya, Rabu (15/1/2025).
Lalu dilansir juga dari valora, kiprah Marfendi sebagai wakil wali kota Bukittinggi telah banyak memberikan kemajuan untuk kota itu. Salah satunya adalah, berkat campur tanggannya, pengolahan sampah dengan incinerator terwujud.
Ditempat berbeda, masyarakat Bukittinggi Dr (cand). Riyan Permana Putra, SH, MH, CLOP dan Rekan yang merupakan Ketua Tim Hukum/Advokasi Erman Safar – Heldo Aura serta Ketua Tim Hukum/Advokasi partai politik pendukung Erman Safar – Heldo Aura yang merupakan koalisi terbesar di Kota Bukittinggi dengan gabungan Gerindra, Nasdem, Golkar, PKB, PSI, Perindo, PBB, Garuda, Hanura, Gelora, Masyumi, dan Partai Buruh ini menyatakan, Buya Marfendi boleh-boleh saja mengklaim prestasi (terkait pembangunan perpustakaan/incinerator) di Pemerintah Kota Bukittinggi, apalagi dia merupakan Wakil Walikota. Tapi perlu diingat, pimpinan pemerintahan Bukittinggi ada di tangan Walikota Bukittinggi yang memutuskan setiap kebijakan.
Riyan Permana Putra juga mengatakan secara etika Buya Marfendi sebagai wakil walikota diperbolehkan mengumbar prestasi pemerintah. Tapi yang lebih berhak adalah Walikota Bukittinggi.
“Tidak ada masalah. Tapi kan kalau di sistem tata negara dan administrasi negara Indonesia ini yang ada adalah keputusan walikota, tidak bisa jalan tanpa keputusan walikota, tanda tangan walikota. Tidak ada namanya keputusan wakil walikota,” tukasnya pada Jumat, (17/1/2025).
Ini nyata menurut Riyan Permana Putra, sebagaimana dikutip dari valora, terkait incinerator ini, Pemerintah Provinsi Sumbar kala itu menyetujui permintaan Marfendi. Setelah adanya proposal, Gubernur Sumbar meminta langsung wali kota yang menemui gubernur.
“Pak wali kota waktu itu mengutus sekretaris daerah. Saya sampaikan kepada pak Sekda, jangankan sekda, saya sebagai wakil wali kota tidak diterima oleh gubernur,” ujarnya.
“Datang diminta menemui gubernur langsung wali kota. Oleh Sekda disampaikan ke wali kota dan akhirnya wali kota yang menemui langsung gubernur,” papar Marfendi.
Lebih lanjut Riyan Permana Putra yang merupakan perintis Perkumpulan Pengacara dan Konsultan Hukum Indonesia (PPKHI) Sumatera Barat ini kemudian memaparkan, pada pasal 63 ayat 1 UU Nomor 23 Tahun 2014 menyebutkan, bahwa dalam menjalankan tugasnya walikota dibantu oleh wakil walikota.
Lalu menurut Riyan Permana Putra dalam UU No. 23 tahun 2014, namun belum memberikan kejelasan jika dilihat dari perspektif penguatan sistem presidensialisme di mana wakil hanyalah sebagai pembantu. Maknanya adalah wakil kepala daerah lebih terfokus pada membantu kepala daerah dalam kegiatan-kegiatan yang sifatnya koordinasi, fasilitasi, pembinaan, dan pengawasan. Dalam posisi membantu kepala daerah maka tidak ada satupun tugas yang bersifat kebijakan yang menjadi kewenangannya, sebutnya.
Bahkan secara konstitusional Riyan Permana Putra mengungkapkan pada Pasal 18 ayat (4) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis”. Substansi ayat tersebut secara nyata memberikan landasan hukum bahwa yang bertindak sebagai pemimpin di suatu daerah (provinsi, kabupaten, atau kota) adalah seorang gubernur, bupati, dan walikota. Sementara wakil kepala daerah atau dapat dibahasakan sebagai wakil gubernur, wakil bupati, dan wakil walikota tidak secara eksplisit disebutkan dalam konstitusi, ungkapnya.
Selanjutnya Riyan Permana Putra menjelaskan dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dapat ditelusuri sejak Pasal 1 Ketentuan Umum. Pada angka 3 disebutkan bahwa “Pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah”, Ketentuan tersebut secara jelas menyatakan bahwa wakil kepala daerah tidak disebut sebagai pemerintah daerah. Selanjutnya pada Pasal 19 ayat (2) UU Nomor 32 Tahun 2004 menyatakan bahwa “Penyelenggara pemerintahan daerah adalah pemerintah daerah dan DPRD”. Dengan melihat ketentuan pada Pasal 1 angka 3 di atas, maka wakil gubernur, wakil bupati, dan wakil walikota bukan merupakan penyelenggara pemerintahan daerah, jelasnya.
Bahkan Riyan Permana Putra menerangkan posisi seorang kepala eksekutif -termasuk gubernur, bupati, dan walikota menjadi sentral dalam penyelenggaraan pemerintahan. Sementara posisi wakil gubernur dan wakil bupati/wakil walikota tidak terdapat posisi yang urgent dan utama. Bahkan di Amerika Serikat dan Australia, posisi wakil kepala daerah tidak ada. Kalaupun ada, maka pengisiannya berdasarkan penunjukan atau pengangkatan oleh gubernur, bupati, atau walikota. Justru yang lebih berperan dan dikenal dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah secara konseptual adalah posisi sekretaris daerah sebagai chief administrative officer, terangnya.
Dalam perkembangannya ujar Riyan Permana Putra, keberadaan seorang wakil kepala daerah tidak dibutuhkan. Keberadaannya sekarang dinilai hanya sekadar fungsi dari perluasan dukungan pemilih. Meskipun demikian satu fungsi mendasar bahwa wakil kepala daerah harus tetap ada adalah fungsi representasi yang bersifat simbolik terutama pada daerah-daerah dengan pemilahan sosial yang kuat dan rentan konflik, ujarnya.
Berdasarkan kondisi yang ditemukan dalam praktek pemerintahan daerah terdahulu, Riyan Permana Putra menegaskan bahwa sering terjadi ketegangan antara kepala daerah dan wakil kepala daerah yang kemudian memunculkan istilah “matahari kembar” dan pada gilirannya akan mengakibatkan “pecah kongsi” antara kepala daerah dan wakil kepala daerah yang masih menjabat. Data pada tahun 2010 hanya 6, 15% dari 244 pemilukada pasangan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang kembali maju bersama, sehingga perlu diperhatikan lebih seksama fenomena ini, tegasnya.
Jadi, menurut Riyan Permana Putra, kekuasaan yang digenggam kepala daerah dan wakil kepala daerah akan sangat tergantung pada “political will” kepala daerah dalam mendelegasikan kewenangannya kepada wakil kepala daerah. Jika kondisi tersebut tidak jelas, maka posisi wakil kepala daerah memang hanya sebagai “ban serep”. Sedangkan yang bersifat teknis administratif sudah dilaksanakan oleh perangkat daerah di bawah kendali sekretaris daerah. Posisi sekretaris daerah justru memiliki ruang kendali yang kuat terhadap birokrasi daerah dan menjadi kuasa pengguna anggaran. Oleh karena itu dalam praktek politik sehari-hari di daerah, kepala daerah lebih sering berhubungan dengan sekretaris daerah dibandingkan dengan wakil kepala daerah. Sebaliknya, sekretaris daerah maupun birokrasi pemerintahan merasa lebih memiliki akses langsung ke kepala daerah tanpa harus melewati wakil kepala daerah. Kondisi tersebut seolah menempatkan posisi wakil kepala daerah dalam posisi “antara” yang serba tanggung dengan fakta bahwa wakil kepala daerah juga dipilih melalui pemilukada tapi tidak memiliki kewenangan yang jelas, tutupnya.(Tim Media Bukittinggi Agam/Forum Pers Independen Indonesia (FPII) Bukittinggi Agam)