Riyan Permana Putra: “MTQ Sumbar Seharusnya Ditunda demi Empati dan Keselamatan Warga”

Bukittinggi — Menanggapi pemberitaan Antara, bahwa Pemerintah Kota Bukittinggi telah menuntaskan berbagai persiapan untuk pelaksanaan MTQ Nasional Tingkat Sumatera Barat ke-41, pengacara dan pemerhati kebijakan publik Riyan Permana Putra menilai bahwa ajang tersebut semestinya ditunda, terutama jika kondisi Sumatera Barat masih berada dalam situasi darurat bencana dan pemulihan.

Pemerintah Kota Bukittinggi sebelumnya menyampaikan bahwa persiapan telah berlangsung maksimal. MTQ ke-41 akan digelar di 16 lokasi, dengan Lapangan Kantin sebagai venue utama, ditambah 11 masjid di setiap kecamatan serta beberapa venue pendukung seperti Gedung RRI Bukittinggi, Auditorium Pustaka Bung Hatta, GOR Bermawi, dan MAN 2 Bukittinggi. Hampir seluruh lokasi disebut sudah dalam tahap akhir penyempurnaan, dengan atribut seperti umbul-umbul dan marawa sudah terpasang di berbagai ruas kota.

MTQ rencananya dibuka oleh Menteri Agama RI Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, M.A., pada Sabtu (13/12) malam. Wali Kota Bukittinggi, Ramlan Nurmatias, menyatakan apresiasi atas kehadiran Menag dan menegaskan bahwa pemerintah kota bergerak cepat untuk memastikan kesiapan acara, demi memberikan kesan terbaik bagi para tamu dan masyarakat.

Namun, di tengah persiapan yang sudah hampir final, Riyan Permana Putra memberikan pandangan berbeda.

“Empati kepada korban bencana harus menjadi prioritas,” ujar Riyan.

Menurut Riyan, pelaksanaan acara besar berskala provinsi maupun nasional saat masyarakat di sejumlah wilayah Sumbar tengah berjuang memulihkan diri dari bencana berpotensi menimbulkan kesan kurang sensitif.

“Kegiatan MTQ sangat mulia, tetapi syiar juga harus mempertimbangkan situasi psikologis masyarakat. Ketika banyak warga masih trauma, kehilangan rumah, atau tinggal di pengungsian, idealnya MTQ ditunda sebagai bentuk empati,” ujarnya.

Dasar Hukum: Pemerintah Dapat Menunda Acara Besar pada Kondisi Darurat

Riyan menjelaskan bahwa penundaan kegiatan besar bukan hanya keputusan moral, tetapi juga memiliki dasar hukum yang kuat.

Riyan menjelaskan menurut Pasal 8 dan Pasal 60 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, pemerintah daerah wajib mengutamakan keselamatan masyarakat, melakukan perlindungan, penyelamatan, dan pemenuhan kebutuhan dasar pada saat terjadi bencana. UU ini menegaskan bahwa seluruh sumber daya pemerintah, termasuk anggaran dan mobilisasi aparatur, harus diarahkan untuk mitigasi dan pemulihan bencana sebelum kegiatan lain.

Selain itu, menurut Riyan, Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 menegaskan bahwa setiap orang berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman bencana.

Di sisi lain, Pasal 5 huruf a dan Pasal 25 UU Pemda Nomor 23 Tahun 2014 mewajibkan kepala daerah melindungi masyarakat serta memprioritaskan pelayanan publik dasar. Kegiatan pemerintah yang berpotensi menimbulkan kerumunan besar dapat ditunda jika dianggap mengganggu keselamatan warga atau upaya pemulihan bencana, lanjutnya.

Menurut Riyan, dasar hukum ini memberikan mandat jelas bahwa pemerintah dapat — bahkan wajib — menunda kegiatan besar ketika kondisi warga belum pulih sepenuhnya.

Prioritas Keselamatan dan Penggunaan Anggaran

Riyan juga menyoroti aspek keselamatan dan penempatan sumber daya pemerintah daerah.

“MTQ melibatkan kerumunan besar dan anggaran publik. Pada masa pascabencana, keselamatan warga dan efektivitas anggaran harus menjadi prioritas. Sebagian anggaran bisa sementara dialihkan untuk pemulihan korban bencana,” tegasnya.

Kehadiran Menteri Agama Tidak Harus Menjadi Alasan Tetap Digelar

Menanggapi kepastian kehadiran Menteri Agama, Riyan menyebut bahwa faktor tersebut tidak boleh membuat pemerintah daerah menutup mata terhadap kondisi masyarakat.

“Jika ditunda karena alasan kemanusiaan, Menag pasti memahami. Itu bukan kegagalan, itu kebijaksanaan,” ujarnya.

Riyan mengajak semua pihak agar menjadikan nilai empati dan perlindungan warga sebagai pedoman dalam pengambilan keputusan pemerintah.

“Islam mengajarkan kepekaan terhadap penderitaan sesama. Menunda MTQ justru menunjukkan bahwa pemerintah menghormati nilai kemanusiaan yang diajarkan agama,” tutupnya.(*)

 

Bagikan:
Hubungi Pengacara