Dugaan Ketimpangan Anggaran Rumah Tangga di Bukittinggi, Riyan Permana Putra Minta Banggar Bertindak Tegas dan Soroti Pelanggaran Asas Efisiensi
Bukittinggi – Pernyataan Andre Kresna, Anggota DPRD Bukittinggi dari Fraksi PKB yang dilansir dari akun tik tok Andre Kresna Saputra terkait dugaan ketimpangan anggaran rumah tangga pejabat daerah berbuntut panjang. Ia mengungkap bahwa anggaran rumah tangga kepala daerah di Bukittinggi mencapai Rp 3,6 miliar per tahun, sementara anggaran rumah tangga pimpinan DPRD Bukittinggi hanya sekitar Rp 300 juta. Perbedaan mencolok ini memicu kritik tajam dari praktisi hukum Riyan Permana Putra yang menilai ketimpangan tersebut diduga bertentangan dengan prinsip efisiensi dan berpotensi melanggar ketentuan hukum keuangan negara.
Menurut Riyan, UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya Pasal 298 ayat (1), secara tegas menyatakan bahwa:
“Belanja Daerah digunakan untuk mendanai pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah yang diselenggarakan secara efisien, efektif, dan akuntabel,” ungkapnya.
Riyan menilai dugaan selisih 12 kali lipat antara dua pos anggaran tersebut diduga sama sekali tidak sejalan dengan asas efisiensi yang diwajibkan undang-undang.
“Pernyataan Anggota DPRD Bukittinggi Andre Kresna harus menjadi pintu masuk evaluasi serius. Jika anggaran rumah tangga kepala daerah mencapai Rp 3,6 miliar, maka wajar publik mempertanyakan apakah penggunaan anggaran tersebut benar-benar efisien dan sesuai kebutuhan jabatan,” tegasnya.
Riyan juga menjelaskan dugaan maladministrasi jika penyusunan anggaran ini tidak merujuk pada standar biaya dan prinsip proporsionalitas. Dalam UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, Pasal 17 ayat (1) menyebutkan:
“Pejabat pemerintahan dilarang menyalahgunakan kewenangan.”
Sedangkan Pasal 17 ayat (2) menjelaskan bentuk penyalahgunaan kewenangan, yaitu:
a. menggunakan kewenangan untuk tujuan lain dari pemberiannya;
b. menggunakan kewenangan melebihi yang ditentukan;
c. bertindak sewenang-wenang.
Sementara Pasal 18 ayat (2) menegaskan:
“Penyalahgunaan kewenangan dapat mengakibatkan keputusan dan/atau tindakan dinyatakan batal atau dapat dibatalkan.”
Riyan menegaskan alokasi anggaran yang tidak rasional diduga dapat dikualifikasikan sebagai kewenangan yang digunakan melebihi tujuan atau secara tidak wajar.
Lebih jauh, Riyan mengaitkan ketimpangan ini dengan dugaan tindak pidana korupsi apabila terjadi pemborosan anggaran yang merugikan keuangan negara. Sesuai Pasal 3 UU Tipikor dinyatakan:
“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya yang dapat merugikan keuangan negara, dipidana…”.
Menurutnya, pemborosan anggaran termasuk bentuk kerugian negara apabila tidak sesuai standar biaya dan tidak memiliki dasar kebutuhan yang jelas.
Riyan Permana Putra juga menyoroti peran Badan Anggaran (Banggar) DPRD, yang merupakan lembaga kunci dalam proses penetapan APBD. Ia menegaskan bahwa Banggar tidak boleh bersikap pasif atau sekadar menerima rancangan anggaran tanpa melakukan pengawasan dan koreksi mendalam.
Menurut Riyan, tugas Banggar telah diatur jelas dalam UU No. 23 Tahun 2014 dan PP No. 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, terutama:
Pasal 106 PP 12/2019
Banggar mempunyai tugas:
1. membahas bersama TAPD mengenai Rancangan APBD;
2. melakukan sinkronisasi terhadap kebijakan umum anggaran;
3. memastikan kesesuaian antara prioritas pembangunan daerah dengan alokasi anggaran;
4. melakukan evaluasi terhadap komponen belanja.
Dalam konteks ini, jelas Riyan, Banggar seharusnya melakukan hal-hal berikut:
1. Menguji Rasionalitas Anggaran Rp 3,6 Miliar
Banggar wajib meminta penjelasan rinci:
– komponen belanja,
– dasar penetapan angka,
– standar biaya yang digunakan.
“Banggar harus meminta ‘breakdown’ lengkap. Jika tidak ada, itu diduga ada indikasi ketidakpatuhan administrasi,” ujarnya.
2. Mengoreksi Ketimpangan
Banggar harus mengembalikan anggaran ke batas wajar apabila dianggap tidak proporsional.
3. Menghentikan Tradisi ‘Copy-Paste Anggaran’
Banyak anggaran rumah tangga disusun dengan menyalin tahun sebelumnya tanpa kajian kebutuhan. Banggar wajib menghentikan praktik ini.
4. Meminta Laporan Efisiensi
Banggar memiliki kewenangan meminta laporan perhitungan efisiensi belanja untuk memastikan anggaran tidak boros.
5. Melakukan Pengawasan Berkelanjutan
Pengawasan tidak berhenti pada persetujuan APBD, tetapi harus dilanjutkan melalui rapat kerja, evaluasi triwulan, dan audit kinerja.
Riyan menilai fakta bahwa ketimpangan ini baru diungkap oleh Anggota DPRD Bukittinggi Andre Kresna ini diduga menunjukkan lemahnya sistem pengawasan internal. Riyan meminta agar BPK dan Inspektorat segera turun melakukan audit investigatif. “APBD harus menjadi instrumen layanan publik, bukan instrumen kenyamanan pejabat. Dugaan ketimpangan besar seperti ini tidak boleh dianggap wajar,” pungkasnya.(*)

