Riyan Permana Putra: Dugaan Penyelewengan Dana Bencana di Agam Tak Cukup Dikembalikan, Unsur Korupsi Harus Diproses Hukum

BUKITTINGGI — Praktisi hukum dan Ketua Dewan Pengawas Perhimpunan Advokat Nusantara (PAN) Raya Pusat, Riyan Permana Putra, menegaskan bahwa dugaan penyelewengan dana bantuan Pemprov Bengkulu sebesar Rp100 juta untuk korban bencana lahar dingin Gunung Marapi di Kabupaten Agam sebagaimana dilansir dari Media Gaya Bekasi tidak cukup diselesaikan hanya dengan pengembalian uang.

Temuan Inspektorat Kabupaten Agam menyebutkan bahwa Rp85 juta dari total dana bantuan tidak dapat dipertanggungjawabkan dan tidak tercatat di BLUD maupun keuangan BPBD Agam. DPRD Kabupaten Agam melalui rapat Pansus Komisi III merekomendasikan agar dana tersebut dikembalikan ke kas daerah.

Namun menurut Riyan, langkah pengembalian itu tidak otomatis menghapus unsur pidana, apabila dalam prosesnya ditemukan adanya niat memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi yang merugikan keuangan negara.

“Dalam hukum pidana korupsi, pengembalian kerugian negara tidak serta-merta menghapus pertanggungjawaban pidana. Itu hanya bisa menjadi pertimbangan meringankan di pengadilan, bukan alasan pembebasan dari hukum,” tegas Riyan di Bukittinggi, Kamis (13/11).

Dasar Hukum dan Yurisprudensi

Riyan menjelaskan, hal ini sesuai dengan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang menyatakan:

“Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini.”

Yurisprudensi juga memperkuat hal tersebut. Dalam Putusan Mahkamah Agung RI No. 813 K/Pid/1987, ditegaskan bahwa pengembalian uang hasil korupsi tidak menghapus tindak pidana, sebab delik korupsi bersifat formil, yakni telah sempurna ketika perbuatan melawan hukum itu terjadi, bukan ketika kerugian negara dihitung.

“Artinya, walaupun dana sudah dikembalikan, jika niat dan perbuatan melawan hukum telah terbukti, unsur korupsi tetap terpenuhi,” jelas Riyan.

Selain itu, Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor menegaskan bahwa jika tindak korupsi dilakukan dalam keadaan tertentu — termasuk bencana alam — pelakunya dapat dijatuhi hukuman mati.

Riyan juga mengutip adagium hukum klasik “Fiat justitia ruat caelum” — “Hendaklah keadilan ditegakkan walau langit runtuh.”

Menurutnya, prinsip ini mengajarkan bahwa hukum tidak boleh tunduk pada tekanan politik atau alasan pragmatis seperti “pengembalian kerugian.”

“Kalau hukum hanya sebatas administrasi, tanpa sanksi pidana, maka keadilan tidak pernah tegak. Pengembalian uang tanpa proses hukum bisa menciptakan preseden buruk — seolah hukum bisa dinegosiasikan,” ujarnya.

Riyan juga mengingatkan bahwa korupsi dana bencana termasuk kejahatan kemanusiaan, karena menyalahgunakan amanah rakyat yang sedang tertimpa penderitaan.

“Ini diduga bukan sekadar pelanggaran administratif, tapi pelanggaran moral. Orang yang mengambil hak korban bencana sama saja menjarah air mata rakyat,” tambahnya.

Nilai Agama dan Kearifan Minang

Riyan menegaskan, Islam sangat melarang keras memakan harta yang bukan haknya.
Ia mengutip firman Allah dalam QS. Al-Baqarah ayat 188:

“Dan janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa urusan itu kepada hakim supaya kamu dapat memakan sebagian harta orang lain dengan dosa, padahal kamu mengetahui.”

Sebagai anak muda Minangkabau, Riyan juga mengingatkan agar pejabat publik memegang teguh prinsip adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah.

“Dalam pepatah Minang disebutkan, ‘Elok nagari karano amanah, binaso nagari karano khianat.’ Artinya, negeri akan jaya karena kejujuran pemimpinnya, dan hancur bila diisi oleh pengkhianatan.”

Riyan juga menambahkan petatah lain:

“Nan haram pantang dimakan, nan salah pantang dipakai.”
Maknanya, harta yang bukan hak tidak akan membawa berkah, dan perbuatan salah tak akan pernah dibenarkan oleh waktu.

Riyan menegaskan, negara hukum tidak boleh membiarkan penyalahgunaan dana publik berlalu tanpa proses hukum yang adil.

“Korupsi bukan sekadar kesalahan individu, tapi pengkhianatan terhadap amanah rakyat. Kalau dibiarkan, hukum akan kehilangan wibawa. Maka, proses hukum harus berjalan — demi keadilan, kepastian, dan efek jera,” pungkasnya.(*)

Bagikan:
Hubungi Pengacara