Riyan Permana Putra sebut Bukittinggi Menanti Pemimpin yang Berani Wujudkan Bukittinggi 145 Km²

Bukittinggi – Suasana Balai Kota Bukittinggi, Rabu (17/9), terasa berbeda. Pemerintah Kota Bukittinggi menyerahkan peta lama terbitan Djawatan Tehnik bagian Kaartering sebelum tahun 1972 kepada Kementerian Dalam Negeri. Peta ini bukan sekadar lembaran usang, melainkan simbol perjuangan panjang dalam pembahasan batas wilayah dengan Kabupaten Agam yang tak kunjung usai.

Langkah Pemko tersebut disambut positif oleh tokoh muda sekaligus praktisi hukum, Riyan Permana Putra. Baginya, dokumen historis adalah amunisi penting untuk menegaskan batas wilayah kota secara legal dan administratif.

“Bukittinggi harus menegaskan batas wilayahnya dengan dasar hukum yang kuat. Peta lama ini adalah bukti penting, tapi yang lebih utama adalah keberanian menegakkan aturan yang sudah ada,” ujar Riyan.

Aturan yang dimaksud adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 84 Tahun 1999. Produk hukum yang lahir 26 tahun silam ini sejatinya telah mengubah wajah Bukittinggi secara signifikan: luas wilayah kota yang semula 25 km² diperluas menjadi 145 km² dengan menyatukan sebagian wilayah Kabupaten Agam.

PP 84/1999 juga mengatur penataan ulang kecamatan dari tiga menjadi lima, serta menegaskan bahwa batas wilayah ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri setelah pengukuran di lapangan. Secara de jure, Bukittinggi sudah sah memiliki 145 km². Namun secara de facto, hingga kini kota ini masih terkungkung pada angka 25 km².

Menurut Riyan, masalahnya bukan pada aturan, melainkan implementasi. “PP 84/1999 itu masih berlaku, tidak pernah dicabut. Secara hukum sah dan mengikat. Yang membuatnya mandek adalah penolakan dari sebagian masyarakat dan juga sikap Pemkab Agam yang belum menerima,” jelasnya.

Kebuntuan ini menimbulkan konflik batas wilayah berkepanjangan. Beberapa nagari, seperti Kapau, bahkan tercatat dalam arsip media cetak menolak perluasan sejak awal. Akibatnya, Bukittinggi terjebak dalam situasi paradoks: di atas kertas kota ini seluas 145 km², tapi di lapangan tetap 25 km².

Upaya penyelesaian terus dilakukan. Pada April 2025, misalnya, pertemuan antara Pemko Bukittinggi, Pemkab Agam, dan Kemendagri kembali digelar dengan semangat menyelesaikan sengketa secara kekeluargaan. Namun hasil finalnya masih menunggu keberanian politik para pemimpin.

Riyan menilai, inilah tantangan terbesar bagi generasi pemimpin Bukittinggi berikutnya. “Kita butuh pemimpin yang berani mewujudkan perluasan kota sebagaimana diamanatkan PP 84/1999. Kalau berhasil, ini akan menjadi warisan besar bagi Bukittinggi—bukan hanya soal luas wilayah, tapi juga kepastian hukum, pemerataan pelayanan publik, dan arah pembangunan jangka panjang,” tegasnya.

Bukittinggi hari ini adalah kota jasa, perdagangan, dan pariwisata. Dengan luas wilayah yang terbatas, ruang geraknya semakin sempit. Jalan-jalan yang padat, pemukiman yang kian rapat, dan kebutuhan ruang untuk aktivitas ekonomi membuat isu perluasan wilayah kembali relevan.(*)

Bagikan:
Hubungi Pengacara