Riyan Permana Putra : Legislator Agam Hadir sebagai Penghubung Aspirasi, Bukan Sekadar Peserta Rapat

Agam — Di tengah gegap gempita pelantikan anggota DPRD Agam periode 2024–2029, publik disuguhi wajah-wajah baru, terutama dari kalangan muda. Ada janji perubahan, ada semangat segar yang digaungkan: “Kami anak muda akan membawa cara kerja baru.” Namun, sebuah opini yang ditulis Depitriadi, S.IP di portal Kaba12 dengan judul “Legislator Muda DPRD Agam: Wajah Baru, Rutinitas Lama?” mengajukan kritik telak: wajah boleh baru, tetapi pola kerja masih lama.

Tulisan tersebut memicu diskusi publik. Apakah benar legislator muda hanya terserap dalam rutinitas rapat formal? Di manakah aksi nyata yang ditunggu masyarakat nagari? Apakah transparansi kerja mereka sudah sejalan dengan semangat keterbukaan era digital?

Untuk menjawab persoalan ini, praktisi hukum dan eks Ketua Gerakan Rakyat Indonesia Bersatu (GRIB) Jaya Kabupaten Agam, Dr (c). Riyan Permana Putra, S.H., M.H. angkat bicara. Ia memberikan analisis hukum, sosial, sekaligus refleksi moral tentang peran wakil rakyat muda di parlemen daerah.

Tanggung Jawab Konstitusional: Bukan Sekadar Hadir di Rapat

Riyan menegaskan bahwa opini Depitriadi punya dasar kuat bila dilihat dari kacamata hukum tata negara.

“Pasal 20A ayat (1) UUD 1945 sudah jelas: DPR—termasuk DPRD—mempunyai fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. Itu bukan sekadar hadir di rapat, melainkan memastikan fungsi itu menyentuh rakyat secara langsung,” ujarnya.

Lebih jauh, ia mengutip Pasal 149 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang menyebutkan bahwa DPRD memiliki fungsi membentuk perda, menyusun dan menetapkan APBD, serta mengawasi pelaksanaannya.

“Jika publik hanya melihat mereka hadir di Bamus, rapat paripurna, atau rapat komisi, maka fungsi itu kehilangan rohnya. Legislator harus hadir sebagai penghubung aspirasi, bukan sekadar peserta rapat,” tambahnya.

Keterbukaan Informasi: Hak Publik, Kewajiban DPRD

Salah satu poin tajam dalam opini Depitriadi adalah ketiadaan jejak digital dari kerja legislator muda. Bagi Riyan, ini bukan sekadar masalah gaya komunikasi, tetapi sudah masuk ke ranah hak publik.

Ia menegaskan bahwa UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) mengatur kewajiban badan publik—termasuk DPRD—untuk menyediakan informasi yang bisa diakses masyarakat.

“Kalau kerja tidak dipublikasikan, sama saja dengan menutup akses publik terhadap informasi. Ini bukan soal pencitraan, tapi akuntabilitas. Publik berhak tahu apa yang dilakukan wakilnya, kapan mereka turun ke nagari, isu apa yang diperjuangkan,” jelasnya.

Riyan menambahkan, di era digital, legitimasi politik semakin ditentukan oleh sejauh mana kerja wakil rakyat terdokumentasi dan bisa diverifikasi publik.

Pandangan Tokoh Bangsa: Cermin untuk Generasi Baru

Riyan kemudian mengaitkan kritik ini dengan pandangan para tokoh bangsa Indonesia, khususnya dari Minangkabau.

Bung Hatta pernah menegaskan bahwa demokrasi bukan hanya soal hak rakyat memilih, tetapi juga kewajiban wakil rakyat mempertanggungjawabkan amanah.

Tan Malaka dalam Madilog mengingatkan pentingnya rasionalitas dan bukti nyata. “Kerja politik tanpa dokumentasi di era digital itu irasional,” kata Riyan, mengutip spirit pemikiran Tan Malaka.

Sutan Syahrir menekankan bahwa politik harus bermoral, bukan sekadar alat kekuasaan. “Politik sejati adalah pengabdian untuk kesejahteraan rakyat,” tambahnya.

Dengan mengutip para tokoh bangsa itu, Riyan menekankan bahwa wajah baru DPRD Agam seharusnya membawa etos kerja baru yang berpijak pada moralitas, rasionalitas, dan tanggung jawab.

Perspektif Adat Minangkabau: Politik yang Berlandaskan Nilai

Dalam konteks lokal, Riyan mengingatkan prinsip adat Minangkabau:

“Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah.”

Artinya, politik tidak bisa dilepaskan dari nilai moral dan agama. Legislator muda yang hanya berputar di forum formal tanpa turun ke lapangan, tanpa mendengar aspirasi rakyat, sesungguhnya mengingkari nilai dasar itu.

Harapan untuk Legislator Muda: Dari Digital ke Nagari

Riyan menawarkan jalan keluar. Menurutnya, tidak sulit bagi legislator muda untuk menunjukkan perbedaan.

Reses harus dipublikasikan. Foto, catatan singkat, atau live streaming di media sosial sudah cukup memberi bukti.

Forum aspirasi alternatif. Diskusi di warung kopi, forum pemuda, hingga kanal digital mingguan dapat memperkuat kehadiran mereka.

Proyek sederhana, dampak besar. Misalnya, memperjuangkan akses sinyal internet atau jalan kampung yang diperbaiki, lalu mendokumentasikannya.

“Satu isu sederhana yang ditangani dengan konsisten akan jauh lebih diingat publik daripada sepuluh kali hadir rapat paripurna,” tegas Riyan.

Penutup: Wajah Baru Harus Gaya Baru

Riyan menutup analisisnya dengan sebuah peringatan:

“Kalau gaya kerja tetap sama, publik akan bosan. Wajah baru tanpa gaya baru hanyalah pergantian nama, bukan perubahan nyata. Lima tahun lagi, internet hanya akan mencatat: legislator muda Agam rajin rapat. Itu terlalu sedikit untuk sebuah harapan besar.”

Bagi Riyan, kritik Depitriadi seharusnya tidak dilihat sebagai serangan, tetapi sebagai alarm moral dan hukum bagi DPRD Agam, terutama legislator muda. Jika mereka berani keluar dari rutinitas lama dan menunjukkan transparansi serta inovasi, maka legitimasi mereka akan kuat.

Namun jika tidak, wajah baru itu akan segera dilupakan sejarah.(Tim Media Bukittinggi Agam/Forum Pers Independen Indonesia (FPII) Bukittinggi Agam)

Bagikan:
Hubungi Pengacara