Polemik Perbup Agam No. 2/2022, Riyan Permana Putra: Sebelum Revisi Perbup Agam No. 2/2022 Disahkan, Pemda Agam Sebaiknya Libatkan Organisasi Pers

Agam — Isu transparansi anggaran publikasi di Kabupaten Agam kembali mencuat setelah Kepala Dinas Kominfo Agam, Roza Syafdefianti, mengungkapkan kepada Banua Minang.co.id (15 September 2025) bahwa pihak Kejaksaan memberikan rekomendasi perubahan Peraturan Bupati (Perbup) Agam Nomor 2 Tahun 2022 tentang Pedoman Kerjasama Publikasi Pemerintah Daerah dengan Perusahaan Pers.

Rekomendasi ini menimbulkan pro-kontra. Di satu sisi, pemerintah daerah ingin memastikan kerja sama publikasi sesuai aturan hukum. Di sisi lain, media mempertanyakan apakah perubahan itu akan berimplikasi pada kebebasan pers dan ruang kontrol publik terhadap pemerintah daerah.

Untuk menggali sisi hukum dan kebebasan pers, praktisi hukum dan eks Ketua Gerakan Rakyat Indonesia Bersatu (GRIB) Jaya Kabupaten Agam, Dr (c). Riyan Permana Putra, S.H., M.H., memberikan tanggapan kritis sekaligus analisis mendalam.

Latar Belakang Perbup 2/2022: Aturan Teknis atau Belenggu?

Perbup Agam No. 2 Tahun 2022 lahir sebagai pedoman teknis bagi Pemda dalam menjalin kerja sama publikasi dengan perusahaan pers. Substansinya antara lain mengatur syarat administratif media, standar kerja sama, serta mekanisme pembayaran.

Namun, sejak awal, beberapa kalangan jurnalis lokal menilai aturan itu berpotensi “membatasi” ruang media kecil atau media komunitas yang belum sepenuhnya terverifikasi oleh Dewan Pers, padahal fungsinya di akar rumput sangat vital.

Kini, setelah Kejaksaan turun dengan rekomendasi perubahan, perdebatan makin tajam: apakah Perbup ini benar-benar untuk transparansi, atau justru bisa jadi instrumen pembatasan terselubung?

Analisis Hukum: Kewenangan Bupati, Fungsi Pers, dan Rekomendasi Kejaksaan

Menurut Riyan Permana Putra, persoalan ini harus dilihat dalam tiga bingkai hukum: kewenangan kepala daerah, aturan pers, dan peran kejaksaan.

1. Kewenangan Kepala Daerah
Berdasarkan Pasal 65 ayat (3) UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, bupati berwenang menetapkan peraturan bupati sebagai penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan.

“Secara formil, Bupati Agam memang berhak membuat Perbup. Tetapi materi muatannya tidak boleh melanggar UU yang lebih tinggi, terutama UU Pers dan UU KIP,” tegas Riyan.

2. Aturan Pers
Riyan menegaskan, UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers menjamin kemerdekaan pers, termasuk hak media untuk memperoleh kesempatan setara dalam kerja sama publikasi.

Pasal 4 ayat (1): Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara.

Pasal 18 ayat (1): Setiap orang yang menghambat atau menghalangi kemerdekaan pers dapat dipidana.

“Jika Perbup memberi kriteria yang diskriminatif terhadap media, itu berpotensi melanggar prinsip non-diskriminasi yang dijamin UU Pers,” jelasnya.

3. Rekomendasi Kejaksaan
Kejaksaan memiliki fungsi pengawasan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 30 ayat (3) UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI.

“Rekomendasi jaksa bersifat korektif, agar produk hukum daerah tidak bertentangan dengan aturan lebih tinggi. Tapi harus dipastikan juga, jangan sampai rekomendasi ini justru dipakai sebagai alat intervensi terhadap kebebasan pers,” kata Riyan.

Perspektif Tokoh Pers Nasional: Kebebasan yang Harus Dijaga

Isu ini juga mengingatkan kembali pada pesan para tokoh pers nasional.

Jakob Oetama, pendiri Kompas, pernah menegaskan: “Pers itu bukan sekadar alat informasi, tetapi juga alat kontrol sosial dan pendidikan publik.”

AJI (Aliansi Jurnalis Independen) berulang kali menekankan bahwa pemerintah daerah tidak boleh membuat aturan teknis yang melemahkan keberagaman media.

Dewan Pers melalui berbagai pernyataan resmi mengingatkan bahwa kerja sama publikasi pemerintah harus transparan, adil, dan tidak diskriminatif.

Mengutip pesan Mohammad Natsir (1908–1993) pernah menjabat sebagai Menteri Penerangan Republik Indonesia pada era Kabinet Hatta I (29 Januari 1948 – 4 Agustus 1949), tokoh pers sekaligus pemimpin bangsa: “Pers harus merdeka, agar rakyat bisa merdeka dalam berpikir.”

Bagi Riyan, kutipan ini relevan untuk menilai apakah Perbup Agam 2/2022 dan rekomendasi kejaksaan masih sejalan dengan semangat kebebasan pers.

Adat Minangkabau: Pers sebagai Lidah Rakyat

Riyan menambahkan, dalam perspektif adat Minangkabau, pers seharusnya menjadi suara rakyat. Ia mengutip pepatah adat:

“Bulek aia dek pambuluah, bulek kato dek mufakat.”
→ Artinya, kebenaran lahir dari dialog dan keterbukaan, bukan dari aturan yang membatasi.

“Nan indak lakang dek paneh, nan indak lapuak dek hujan.”
→ Kebebasan pers dan aspirasi rakyat adalah amanah abadi yang tidak boleh dikikis oleh regulasi teknis.

Menurutnya, jika Perbup hanya menghasilkan daftar panjang syarat administratif, tapi mematikan media kecil yang dekat dengan rakyat, maka itu bertentangan dengan filosofi adat Minang yang selalu menempatkan suara rakyat sebagai dasar musyawarah.

Rekomendasi Riyan Permana Putra: Revisi Substansial, Bukan Sekadar Formal

Riyan menilai rekomendasi kejaksaan terhadap Perbup 2/2022 bisa menjadi momentum perbaikan. Namun ia menekankan, revisi jangan sekadar kosmetik administratif.

Ada tiga poin yang ia rekomendasikan:

1. Transparansi Anggaran
Publik harus bisa mengakses berapa anggaran publikasi Pemda, media mana saja yang bekerja sama, dan berapa nilai kontraknya, sesuai UU KIP 2008.

2. Non-Diskriminasi Media
Syarat verifikasi Dewan Pers boleh dipertahankan, tapi jangan sampai menutup peluang media lokal kecil yang aktif dan punya basis komunitas kuat.

3. Partisipasi Publik dan Dewan Pers
Sebelum revisi disahkan, Pemda Agam sebaiknya melibatkan organisasi pers (PWI, AJI, IJTI) dan Dewan Pers agar revisi Perbup sejalan dengan semangat UU Pers.

“Jangan sampai revisi Perbup justru makin membelenggu pers lokal. Revisi harus menjamin prinsip keadilan, transparansi, dan keberagaman,” pungkasnya.

Penutup: Wajah Hukum, Cermin Demokrasi

Polemik Perbup Agam No. 2 Tahun 2022 menunjukkan tarik-menarik antara regulasi, kebebasan pers, dan kepentingan publik.

Bagi Riyan, wajah hukum adalah cermin demokrasi. Jika regulasi mengedepankan keterbukaan, maka pers akan kuat dan rakyat terlindungi. Namun bila regulasi hanya menjadi pagar diskriminatif, maka pers akan tumpul dan rakyat kehilangan suaranya.

Di Minangkabau, pepatah lama tetap relevan:

“Rajo adil rajo disambah, rajo zalim rajo disanggah.”
— Pemimpin yang adil akan dihormati, sementara pemimpin yang membatasi kebebasan rakyat harus dikritik.(Tim Media Bukittinggi Agam/Forum Pers Independen Indonesia (FPII) Bukittinggi Agam)

Bagikan:
Hubungi Pengacara