Praktisi Hukum Riyan Permana Putra sebut Kecelakaan Maut Bus di Tol Padang–Sicincin, Sopir dan Perusahaan Angkutan Bisa Dimintai Pertanggungjawaban

Padang, 8 September 2025 – Kecelakaan maut bus Gol I bernomor polisi BK 7444 UA di Bundaran Akses Kapalo Hilalang Jalur A, Tol Padang–Sicincin, yang menewaskan dua penumpang dan melukai lima orang, memunculkan sorotan dari praktisi hukum, Dr (c). Riyan Permana Putra, SH, MH. Ia menegaskan bahwa peristiwa ini tidak hanya berhenti pada aspek teknis lalu lintas, tetapi juga membawa implikasi hukum pidana, perdata, hingga tanggung jawab penyelenggara jalan tol.

“Dalam perspektif hukum pidana, sopir bus dapat dimintai pertanggungjawaban apabila terbukti lalai. Hal ini sejalan dengan Pasal 310 ayat (4) UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ) yang mengancam pidana penjara hingga 6 tahun bagi pengemudi yang karena kelalaiannya menyebabkan orang lain meninggal dunia,” ungkap Riyan, Senin (8/9).

Ia menambahkan, yurisprudensi Putusan MA No. 1552 K/Pid/1991 menegaskan bahwa kelalaian sopir yang mengakibatkan kematian penumpang merupakan bentuk culpa lata (kelalaian berat) yang tidak bisa ditoleransi.

Dari sisi hukum perdata, Riyan menekankan adanya prinsip tanggung jawab pengangkut terhadap penumpang. “Sesuai Pasal 141 UU LLAJ, perusahaan angkutan wajib bertanggung jawab atas kerugian yang dialami penumpang selama perjalanan, kecuali dapat membuktikan adanya keadaan memaksa (force majeure),” jelasnya.

Menurutnya, doktrin liability without fault dalam hukum pengangkutan mempertegas posisi hukum penumpang sebagai pihak yang harus dilindungi. Hal itu juga ditegaskan dalam Putusan MA No. 449 PK/Pdt/2016, di mana perusahaan angkutan dinyatakan tetap bertanggung jawab terhadap penumpang yang menjadi korban kecelakaan, meskipun kecelakaan tersebut disebut sebagai kecelakaan tunggal.

Terkait aspek administrasi dan pengawasan, Riyan menyebut penyelenggara jalan tol tetap memiliki tanggung jawab sosial dan hukum. “Pasal 3 UU No. 38 Tahun 2004 tentang Jalan menyebutkan bahwa penyelenggara jalan wajib menjamin keselamatan dan kelancaran lalu lintas. Maka, desain jalan, termasuk keberadaan U-Turn, harus sesuai standar keselamatan untuk mencegah potensi kecelakaan,” paparnya.

Meski demikian, ia menilai tanggung jawab utama tetap berada pada pengemudi dan perusahaan angkutan. “Pengelola tol seperti Hutama Karya lebih berperan pada aspek mitigasi, evakuasi, serta pengamanan lalu lintas. Tetapi evaluasi teknis tetap diperlukan agar fasilitas jalan tidak menimbulkan risiko tambahan,” ujarnya.

Di akhir keterangannya, Riyan menegaskan pentingnya penegakan hukum yang berimbang. “Keadilan harus ditegakkan tidak hanya bagi korban dan keluarganya, tetapi juga bagi masyarakat pengguna jalan. Prinsip fiat justitia ruat caelum—biarlah keadilan ditegakkan sekalipun langit runtuh—harus menjadi pedoman,” pungkasnya.(Tim Media Bukittinggi Agam/Forum Pers Independen Indonesia (FPII) Bukittinggi Agam)

 

Bagikan:
Hubungi Pengacara