Riyan Permana Putra Ucapkan Terima Kasih, Kombes Pol Yessi Kurniati, S. I. K., M. M, Mantan Kapolresta Bukittinggi Bantu Ungkap Kasus Nikah Siri di Wilayah Hukum Bukittinggi

Bukittinggi, 29 Juli 2025 – Praktik nikah siri tanpa izin istri sah kembali menjadi sorotan di wilayah hukum Bukittinggi, Sumatera Barat. Kasus ini terungkap setelah adanya laporan dari salah satu istri sah yang merasa ditelantarkan dan mengalami tekanan psikis akibat pernikahan siri yang dilakukan suaminya secara diam-diam.

Menariknya, pengungkapan kasus ini turut mendapat perhatian dan dukungan dari Kombes Pol Yessi Kurniati, S. I. K., M. M, mantan Kapolresta Bukittinggi, yang namanya tidak disebutkan secara resmi dalam proses penyelidikan. Mantan perwira tinggi tersebut membantu mendorong pengumpulan bukti dan memperkuat posisi korban dalam proses hukum, baik secara keperdataan maupun pidana.

Dr (c). Riyan Permana Putra, SH, MH, praktisi hukum yang juga mendampingi korban dalam kasus ini, menyebut bahwa bantuan dari tokoh kepolisian yang pernah menjabat di Bukittinggi mempercepat proses pengungkapan dan pelaporan.

“Kami sangat mengapresiasi langkah dan bantuan moral serta koordinasi dari mantan Kapolresta Bukittinggi dalam kasus ini. Tepatnya pada SURAT TANDA PENERIMAAN LAPORAN Nomor: STTLP/143/VII/2025/SPKT/POLRESTA BUKIT TINGGI/POLDA SUMATERA BARAT. Berdasarkan Laporan Polisi Nomor: LP/B/143/VII/2025/SPKT/POLRESTA BUKIT TINGGI/POLDA SUMATERA BARAT. Dengan Pelapor inisial N. Dukungan ini sangat berarti bagi korban yang tengah memperjuangkan keadilan di tengah praktik pernikahan siri yang tidak sehat,” ujar Riyan.

Lebih lanjut, Riyan menjelaskan bahwa pernikahan siri yang dilakukan tanpa izin istri sah dapat dikualifikasikan sebagai bentuk pelanggaran terhadap asas monogami dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Jika disertai dengan penelantaran nafkah atau tekanan psikis, pelaku dapat dijerat dengan UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dan UU Perlindungan Anak, apabila ada anak-anak yang terdampak.

Riyan menambahkan, nikah siri, atau pernikahan yang tidak dicatatkan secara resmi, dapat memiliki implikasi hukum pidana. Pasal 279 KUHP mengatur ancaman pidana bagi mereka yang melangsungkan pernikahan padahal mengetahui ada penghalang sah untuk itu, seperti adanya pernikahan sebelumnya. Pelaku nikah siri juga bisa terjerat Pasal 284 KUHP tentang perzinaan jika salah satu pihak sudah terikat pernikahan sah. Selain itu, orang yang bertindak sebagai wali hakim atau pegawai pencatat nikah palsu juga bisa dikenakan pidana.

Sementara itu, dukungan dari mantan pejabat Polresta Bukittinggi menunjukkan bahwa sinergi antara masyarakat, tokoh penegak hukum, dan advokat dapat mempercepat penanganan kasus-kasus yang kerap dianggap tabu untuk dibuka ke ruang publik.

“Praktik nikah siri tanpa izin istri sah harus dihentikan, terutama jika disertai tindakan penelantaran, kekerasan psikis, atau kebohongan administratif,” tegas Riyan.

Hingga saat ini, kasus masih dalam tahap pelaporan resmi dan pengumpulan alat bukti. Korban didampingi oleh kuasa hukum dan akan menempuh jalur hukum baik perdata maupun pidana untuk mendapatkan keadilan.(Tim Media Bukittinggi Agam/Forum Pers Independen Indonesia (FPII) Bukittinggi Agam)

Bagikan:
Hubungi Pengacara