Riyan Permana Putra Dukung Penerapan Tilang Elektronik di Bukittinggi: “Agar Terhindar dari Stigma Kota Tilang”

Bukittinggi, Sumatera Barat — Sebagaimana dilansir dari Antara, Satuan lalu lintas (Satlantas) Polresta Bukittinggi, Sumatera Barat segera memperlakukan tilang elektronik atau electronic traffic law enforcement (ETLE) untuk meningkatkan ketertiban dan keselamatan pengendara di daerah itu

“Sistem ini bertujuan untuk meningkatkan ketertiban dan keselamatan berlalu lintas. Mengurangi interaksi langsung antara petugas dan pelaku pelanggar lalu lintas,” kata Kepala Bagian Operasi (KBO) Satlantas Polresta Bukittinggi Ipda Azryandi, di Bukittinggi, Selasa.

Menyusul rencana penerapan sistem tilang elektronik (ETLE) di Kota Bukittinggi, tokoh muda dan pengacara di Bukittinggi, Dr (c). Riyan Permana Putra, SH, MH menyampaikan dukungan penuh terhadap langkah tersebut. Menurutnya, sistem ETLE akan membawa dampak positif terhadap citra dan ketertiban lalu lintas di kota wisata tersebut.

“Sudah saatnya Bukittinggi menerapkan sistem tilang elektronik secara menyeluruh. Ini penting agar Bukittinggi terbebas dari stigma negatif sebagai ‘kota tilang’ yang selama ini berkembang di tengah masyarakat,” ujar Riyan Permana yang juga dikenal sebagai pengamat hukum dan kebijakan publik di Sumatera Barat, pada Rabu, 30 Juli 2025 di Hotel Monopoli, Bukittinggi.

Ia menilai bahwa sistem tilang manual yang masih diberlakukan di beberapa titik justru membuka ruang praktik pungutan liar dan penyimpangan.

“Dengan adanya ETLE, semuanya terekam dan transparan. Ini akan meminimalkan interaksi langsung antara petugas dan pelanggar, serta menghindari tudingan pungli,” tegasnya.

Dasar Hukum Penerapan ETLE

Penerapan ETLE menurut Riyan Permana Putra merujuk pada sejumlah regulasi, antara lain:

Pasal 272 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, yang memungkinkan penggunaan teknologi informasi untuk penindakan pelanggaran lalu lintas.

Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penindakan Pelanggaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dengan Sistem Elektronik.

Peraturan Kapolri No. 8 Tahun 2021 tentang Tata Cara Penindakan Pelanggaran Lalu Lintas dengan ETLE Nasional Presisi.

“Dengan dasar hukum yang kuat tersebut, Pemko Bukittinggi bersama Polresta harus segera berbenah dalam infrastruktur dan edukasi publik sebelum implementasi resmi. Edukasi penting agar masyarakat memahami manfaat ETLE, bukan takut terhadapnya,” jelas Riyan.

Data Pelanggaran Bukittinggi

Berdasarkan data Ditlantas Polda Sumbar (2023), Bukittinggi termasuk kota dengan tingkat pelanggaran lalu lintas tinggi di Sumatera Barat. Pada periode Januari–Desember 2023, tercatat lebih dari 6.000 pelanggaran, didominasi oleh pelanggaran helm, melawan arus, dan penggunaan kendaraan tanpa surat sah.

“Ini bukan hanya tentang penindakan, tetapi juga pembenahan budaya berkendara masyarakat. Maka ETLE adalah solusi modern dan terukur,” tambah Riyan.

Ia juga berharap agar pengawasan oleh pihak ketiga atau lembaga independen turut dilibatkan dalam evaluasi sistem ini, agar berjalan objektif dan sesuai tujuan reformasi pelayanan publik. Jika di Bukittinggi ingin diterapkan secara baik, disarankan Pemko atau Polresta Bukittinggi menjalin kemitraan dengan Ombudsman RI Perwakilan Sumbar, Kompolnas, Media massa dan jurnalia investigasi, LSM/NGO yang bergerak di bidang hukum serta akademisi dan melibatkan kampus-kampus seperti Universitas Andalas, UNP, atau IAIN Bukittinggi sebagai bagian dari pemantau independen ETLE.

Riyan Permana Putra menilai bahwa rencana penerapan sistem tilang elektronik atau Electronic Traffic Law Enforcement (ETLE) di Kota Bukittinggi sudah seharusnya dilakukan sejak lama. Ia menyebut bahwa langkah ini memang penting, namun sayangnya sudah terlambat, mengingat berbagai kota besar di Indonesia telah lebih dahulu menerapkan sistem ini untuk mendisiplinkan pengguna jalan dan mengurangi praktik tilang manual yang rawan penyimpangan.

“Kalau kita bicara soal urgensi, Bukittinggi seharusnya sudah dari dulu menerapkan ETLE. Karena ini bukan lagi wacana baru. Bahkan beberapa kabupaten di luar Pulau Jawa sudah lama memulainya,” ujar Riyan.

Menurut Riyan, keterlambatan ini membuat Bukittinggi kerap mendapat stigma negatif dari masyarakat dan wisatawan sebagai “kota tilang”.

“Istilah ‘kota tilang’ itu muncul karena penindakan konvensional yang kadang tidak transparan. Masyarakat jadi enggan datang, apalagi wisatawan luar kota. Maka, ETLE bukan hanya soal hukum, tapi juga soal pemulihan citra kota,” tegasnya.

“Dengan dasar hukum yang ada, Pemko Bukittinggi dan Polresta tinggal memastikan kesiapan infrastruktur dan edukasi masyarakat agar sistem ini bisa diterima dan dijalankan dengan baik,” tambahnya.

“Ini sudah cukup jadi alarm. Kapan lagi kalau tidak sekarang? Sistem ETLE akan menciptakan rasa keadilan, karena semua pelanggaran terekam dan prosesnya transparan,” jelas Riyan.

Harapan

Riyan berharap, walau terlambat, penerapan ETLE di Bukittinggi bisa dilakukan secara menyeluruh, tidak setengah-setengah. Selain itu, ia mendorong adanya pengawasan independen dan evaluasi berkala agar pelaksanaan sistem ini tidak menyimpang dari semangat reformasi pelayanan publik.

“Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Yang penting ada komitmen kuat untuk mengakhiri praktik-praktik lama yang rawan penyimpangan,” tutupnya.(Tim Media Bukittinggi Agam/Forum Pers Independen Indonesia (FPII) Bukittinggi Agam)

 

Bagikan:
Hubungi Pengacara