Pengacara Riyan Permana Putra Ungkap Kasus Suami Nikah Siri Tanpa Izin Istri Diduga Meningkat di Sumatera Barat

Padang – Praktisi hukum dan pemerhati isu keluarga, Dr (c). Riyan Permana Putra, SH, MH mengungkapkan bahwa kasus suami melakukan pernikahan siri tanpa seizin istri sah diduga cenderung meningkat di wilayah Sumatera Barat dalam beberapa tahun terakhir. Fenomena ini menjadi sorotan karena dinilai berdampak pada keutuhan rumah tangga serta menimbulkan permasalahan hukum dan sosial yang kompleks.

Menurut Riyan, praktik nikah siri tanpa persetujuan istri pertama kerap dilakukan secara diam-diam dan tidak melalui prosedur hukum yang semestinya. Hal ini tidak hanya melanggar etika pernikahan dalam perspektif keadilan keluarga, tetapi juga berpotensi melanggar ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, khususnya Pasal 3 ayat (2) yang mengatur bahwa seorang suami hanya dapat beristri lebih dari satu apabila mendapat izin dari pengadilan dan persetujuan istri.

“Banyak kasus kami temui di lapangan, suami menikah lagi secara siri tanpa sepengetahuan dan izin istri sahnya. Ini bukan hanya soal moral, tetapi juga menyangkut aspek hukum dan hak-hak istri serta anak-anak dalam pernikahan yang sah,” ujar Riyan dalam keterangannya di Hotel Monopoli, Bukittinggi pada Selasa (29/7).

Ia menambahkan, pernikahan siri yang dilakukan tanpa transparansi dapat mengakibatkan istri pertama mengalami tekanan psikologis, kehilangan hak-hak ekonomi, dan bahkan menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) ketika mencoba memperjuangkan haknya.

Riyan melanjutkan, nikah siri, atau pernikahan yang tidak dicatatkan secara resmi, dapat memiliki implikasi hukum pidana. Pasal 279 KUHP mengatur ancaman pidana bagi mereka yang melangsungkan pernikahan padahal mengetahui ada penghalang sah untuk itu, seperti adanya pernikahan sebelumnya. Pelaku nikah siri juga bisa terjerat Pasal 284 KUHP tentang perzinaan jika salah satu pihak sudah terikat pernikahan sah. Selain itu, orang yang bertindak sebagai wali hakim atau pegawai pencatat nikah palsu juga bisa dikenakan pidana, lanjutnya.

Riyan mendorong agar pemerintah daerah melalui Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) serta Kantor Urusan Agama (KUA) aktif melakukan edukasi kepada masyarakat terkait pentingnya mengikuti prosedur hukum dalam perkawinan. Ia juga mendesak agar Mahkamah Agung memperketat regulasi izin poligami agar benar-benar mempertimbangkan keadilan bagi semua pihak, terutama perempuan.

“Kami juga mengajak para perempuan untuk tidak ragu mencari bantuan hukum jika menjadi korban praktik nikah siri yang merugikan. Negara harus hadir dalam melindungi hak-hak perempuan dan anak dalam rumah tangga,” tegasnya.

Fenomena ini, lanjut Riyan, menandakan masih rendahnya kesadaran hukum sebagian masyarakat serta lemahnya pengawasan terhadap praktik perkawinan di luar sistem resmi. Ia menyarankan agar penguatan regulasi dan penegakan hukum dilakukan secara serius, agar tidak terjadi pelanggaran hak dan diskriminasi dalam rumah tangga.(Tim Media Bukittinggi Agam/Forum Pers Independen Indonesia (FPII) Bukittinggi Agam)

 

Bagikan:
Hubungi Pengacara