Praktisi Hukum Riyan Permana Putra Soroti Dugaan Iuran Rp2,4 Juta di MAN 1 : Permendikbud Larang Pungutan Sekolah yang Memberatkan, Komite Hanya Boleh Galang Dana Sukarela

Bukittinggi – Dilansir dari CNN Indonesia, salah satu wali murid di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 1 mencurahkan keluh kesahnya kepada wartawan terkait kebijakan pihak sekolah yang dinilai memberatkan.

Pasalnya, setiap siswa diminta untuk membayar iuran sekolah dengan total mencapai Rp2.400.000 untuk tahun ajaran 2025/2026. Kebijakan tersebut diduga memicu kejengkelan di kalangan orang tua siswa, terutama yang berasal dari keluarga menengah ke bawah.

Wali murid yang enggan disebutkan namanya itu mengaku kecewa karena besarnya iuran dinilai tidak sebanding dengan fasilitas yang diterima siswa.

“Kami ini bukan orang berada. Iuran sebesar itu sangat memberatkan, apalagi tidak ada penjelasan rinci ke mana saja uang itu digunakan,” ujarnya, Senin (29/7).

Kebijakan salah satu Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 1 yang diduga mewajibkan siswa membayar iuran hingga Rp2.400.000 untuk tahun ajaran 2025/2026 menuai sorotan tajam dari praktisi hukum. Salah satu wali murid yang enggan disebutkan namanya bahkan mencurahkan keluh kesahnya kepada wartawan, menyebut beban itu berat bagi kalangan masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah.

Menanggapi hal tersebut, Dr (c). Riyan Permana Putra, SH, MH, praktisi hukum dan pengamat kebijakan publik, menilai bahwa kebijakan sekolah negeri semestinya berpihak kepada prinsip keadilan sosial dan akses pendidikan yang merata.

“MAN adalah lembaga pendidikan negeri yang dibiayai dari APBN. Meminta iuran sebesar Rp2,4 juta per siswa tanpa transparansi dan dasar hukum yang jelas bisa menimbulkan dugaan pungutan liar. Ini patut dipertanyakan,” tegas Riyan, Selasa (29/7/2025) di Hotel Monopoli, Bukittinggi, Sumatera Barat.

Menurut Riyan, pendidikan adalah hak dasar warga negara sebagaimana diatur dalam Pasal 31 UUD 1945. Karena itu, setiap kebijakan sekolah negeri harus selaras dengan prinsip keterjangkauan dan tidak boleh mempersulit akses pendidikan bagi siswa dari keluarga kurang mampu.

“Kalau memang ada kebutuhan tambahan dana untuk kegiatan pendidikan, sekolah wajib melibatkan komite sekolah, menjelaskan penggunaannya secara rinci, dan memastikan bahwa sifatnya sukarela, bukan paksaan,” ujarnya lagi.

Riyan juga mendorong Dinas Pendidikan dan Kantor Kementerian Agama setempat untuk segera turun tangan menyelidiki kebijakan tersebut.

“Jangan sampai kepercayaan publik terhadap lembaga pendidikan tercoreng hanya karena kebijakan-kebijakan sepihak yang tidak peka terhadap kondisi sosial masyarakat. Jika ada unsur pelanggaran hukum, termasuk potensi dugaan pungutan liar, maka aparat penegak hukum harus bertindak tegas,” pungkasnya.

Riyan juga mengingatkan kembali agar pihak MAN 1 dan komite sekolah taat aturan yang secara tegas melarang dugaan praktik pungutan yang membebani orang tua siswa. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah mengatur bahwa komite sekolah hanya boleh melakukan penggalangan dana dalam bentuk sumbangan sukarela, bukan pungutan yang ditetapkan jumlahnya.

Pungutan Dilarang, Sumbangan Harus Sukarela

Dalam Pasal 10 ayat (1) Permendikbud tersebut ungkap Riyan, dijelaskan bahwa komite sekolah dilarang melakukan pungutan kepada peserta didik atau orang tua/walinya. Sedangkan dalam Pasal 12 ayat (1) ditegaskan bahwa sumbangan pendidikan harus bersifat sukarela, tidak mengikat, dan tidak memaksa.

“Jika jumlah iuran sudah ditentukan dan sifatnya wajib, itu bukan lagi sumbangan, tapi pungutan. Dan pungutan oleh komite di sekolah negeri dilarang oleh Permendikbud. Ini bisa dikategorikan sebagai pelanggaran aturan,” tegas Riyan yang juga merupakan Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bukittinggi.

Sekolah Negeri Dibiayai Negara

Lebih lanjut, Riyan menegaskan bahwa lembaga pendidikan negeri, termasuk madrasah aliyah negeri, sudah menerima anggaran pendidikan dari negara melalui Dana BOS (Biaya Operasional Sekolah). Oleh karena itu, menurutnya, kebijakan iuran yang membebani harus segera dievaluasi.

“Sekolah tidak boleh menjadikan komite sebagai tameng untuk memberlakukan pungutan yang tidak sesuai aturan. Negara sudah menanggung biaya pendidikan dasar dan menengah. Orang tua jangan sampai dibebani dengan biaya tambahan yang tidak transparan,” jelasnya.

Perlu Pengawasan Serius

Riyan juga mendorong keterlibatan Kantor Kementerian Agama dan Ombudsman RI untuk mengawasi praktik kebijakan iuran yang berpotensi menyalahi aturan di sekolah negeri.

“Jika iuran ini ditentukan sepihak tanpa dasar hukum dan tanpa ada mekanisme musyawarah yang adil, bisa dilaporkan ke Ombudsman atau bahkan aparat penegak hukum jika mengarah pada pungutan liar,” tutupnya.(Tim Media Bukittinggi Agam/Forum Pers Independen Indonesia (FPII) Bukittinggi Agam)

Bagikan:
Hubungi Pengacara