Riyan Permana Putra sebut Audiensi Tertutup DPRD Bukittinggi Diduga Bertentangan dengan Prinsip Keterbukaan dan Transparansi

Bukittinggi – Pegawai kontrak dan/atau honorer yang terancam diberhentikan Pemko Bukittinggi melakukan audiensi dengan DPRD Bukittinggi pada Selasa, (8/4/2025). Adapun permintaan mereka adalah kepastian nasib mereka kedepannya.

Namun ada yang menarik, audiensi pegawai kontrak dan/atau honorer yang terancam diberhentikan Pemko Bukittinggi ini pembahasan digelar tertutup dan pihak DPRD Bukittinggi meminta jurnalis yg meliput untuk meninggalkan ruangan.

Menanggapi hal ini, Dr (c). Riyan Permana Putra, SH, MH, CLOP, tokoh muda Bukittinggi yang pernah menjadi pengacara kasus pemberhentian belasan juru parkir di Bukittinggi ini menyatakan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) memang diduga kerap kali melakukan rapat tertutup. Namun rapat-rapat yang digelar tertutup tersebut, tidak pernah disertai penjelasan menyangkut apa sesungguhnya yang menjadi alasan, sehingga rapat-rapat itu harus dilakukan tertutup. Padahal secara prinsip, langkah dan kebijakan yang ditempuh oleh suatu lembaga negara, mesti mendapatkan rasionalisasi secara objektif, bukan atas dasar subjektivitas semata.

“Sebab mereka yang duduk di gedung DPRD Bukittinggi itu, sejatinya hanya diberikan mandat oleh Rakyat untuk mengoperasikan lembaga yang bernama DPRD. Jadi sangat aneh dan lucu, jika kita masyarakat Bukittinggi sebagai pemberi mandat justru dijauhkan dari segala informasi yang semestinya didapatkan secara layak dan terbuka, apalagi terkait nasib hampir seribuan tenaga honorer di Bukittinggi,” tegasnya pada Rabu, (9/4/2025) di sela-sela sidang di Pengadilan Negeri Lubuk Basung, Agam.

Riyan Permana Putra yang merupakan perintis Perkumpulan Pengacara dan Konsultan Hukum Indonesia (PPKHI) Sumatera Barat ini menambahkan bahwa diduga rapat tertutup yang digelar DPRD melanggar norma. Karna sudah jelas norma publiknya, publik sangat menunggu info perjuangan DPRD terkait honorer bahkan tak ada info rahasia negara dalam audiensi itu maka seharusnya DPRD yang sudah tahu labuah luruih jalannyo pasa jan manyimpang suok jo kida.

Secara normatif menurut Riyan Permana Putra, semua rapat DPRD itu pada dasarnya bersifat terbuka, kecuali rapat tertentu yang dinyatakan tertutup. Demikian bunyi ketentuan Pasal 126 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah juncto Pasal 90 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib DPRD Provinsi, Kabupaten, Dan Kota (PP Nomor 12 Tahun 2018 tentang Pedoman Tatib DPRD). Hal ini bertujuan untuk membuka ruang bagi publik untuk mengawasi setiap materi yang dibahas oleh DPRD, tambahnya.

Lalu Riyan Permana Putra melanjutkan, apa kategori rapat yang boleh dilakukan secara tertutup tersebut? Apakah hanya berdasarkan kesepakatan peserta rapat semata? Rapat tertutup tentu saja harus disertai dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu yang rationable dan dapat diterima oleh nalar publik. Sebagai contoh, rapat Badan Kehormatan (BK) terkait agenda pemeriksaan anggota DPRD yang diduga melakukan pelanggaran etik. Itu bisa saja dilakukan secara tertutup, dengan alasan keamanan serta demi kelancaran jalannya pemeriksaan, lanjutnya.

Selain norma yang diatur dalam PP Nomor 12 Tahun 2018 tentang Pedoman Tatib DPRD, Riyan Permana Putra menyebutkan rapat-rapat yang digelar tertutup diduga juga bertentangan dengan norma yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Kebebasan Informasi Publik (UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang KIP). Sebagai badan publik, DPRD punya tanggung jawab penuh untuk membuka dan menyediakan informasi secara layak kepada publik. Salah satunya adalah informasi menyangkut dinamika yang terjadi dalam setiap rapat-rapat yang digelar oleh DPRD. Publik berhak tahu, bagaimana sikap dan keseriusan wakil-wakilnya dalam memperjuangkan aspirasinya masing-masing. Hal ini termasuk juga hak publik untuk mengetahui keputusan-keputusan yang diambil dalam setiap rapat-rapat DPRD, beserta dasar pertimbangan-pertimbangannya. Dalam ketentuan UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang KIP, informasi seputar jalannya rapat serta keputusan-keputusan yang dihasilkan, dikategorikan sebagai informasi yang wajib disediakan setiap saat oleh badan publik, sebutnya.

Menurut Riyan Permana Putra ketertutupan pembahasan rapat di DPRD diduga mengindikasikan beberapa hal, yakni : Pertama, diduga ada politik transaksional. Salah satu karakteristik dari politik transaksional adalah aktivitas yang dilakukan di ruang-ruang tertutup. Untuk mengelabui “moral publik” dan menghindari tuntutan “etika parlementarian”, maka pengawasan publik mesti mereka hindari.

Kedua, pembahasan dalam ruang-ruang tertutup, diduga bermakna mereka memang sedang merencanakan kejahatan. Persekongkolan selalu berawal dari lorong-lorong gelap yang jauh dari jangkauan publik. Diduga sedang ada rencana untuk “mengaburkan” fakta, sekaligus “menghilangkan” jejak dugaan kejahatan yang dilakukan.

Dan ketiga, diduga ada perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) yang mengarah kepada tindak pidana. Kita harus paham jika tindak pidana seperti korupsi itu subur dan berkembang dalam ruang-ruang gelap. Logikanya, tidak akan ada suap dan gratifikasi di tengah keramaian yang penuh dengan pantauan publik. Karena alasan inilah kenapa prinsip “transparansi” dan “keterbukaan” selalu dijadikan anti-tesa untuk melawan korupsi. Sebab hanya dengan keterbukaan dan transparansi inilah, kita bisa meminimalisir tindakan-tindakan korup dari para pejabat dan penyelenggara negara, termasuk DPRD.

Dengan demikian, sesungguhnya rapat-rapat tertutup yang dilakukan oleh DPRD, tidak hanya bertentangan dengan prinsip-prinsip keterbukaan dan transparansi, serta kebebasan informasi yang dilindungi oleh konstitusi dan perundang-undangan kita, namun juga melanggar norma hukum (legal norm) yang berlaku. Oleh sebab itu, DPRD dapat dikatakan telah melakukan semacam pembangkangan hukum (disobedience of law) karena tidak patuh terhadap ketentuan yang berlaku. Terlebih lagi, aturan-aturan itu justru dibuat oleh mereka sendiri. Demikian pula rapat-rapat tertutup yang diputuskan secara subjektif tanpa dasar yang kuat, jelas adalah bentuk pengingkaran terhadap nalar publik dan prinsip-prinsip penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme. Sebab rapat tertutup semacam itu, hanya akan menyuburkan korupsi, dan melanggengkan politik transaksional, tuturnya.

Sebelumnya, sebagaimana dilansir dari Khaz Minang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Bukittinggi langsung menyikapi surat masuk untuk melakukan audiensi dengan perwakilan pegawai kontrak atau tenaga honorer, pada pertemuan tersebut DPRD juga menghadiri Plt Sekretaris Daerah Kota Bukittinggi, Asisten III, Kepala Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BKPSDM) supaya bisa memfasilitasi dengan Pemerintah Daerah. Hal ini disampaikan H.Syaiful Efendi,Lc.,M.A. Ketua DPRD Kota Bukittinggi di ruang kerjanya, Selasa (8/4/2025)
Dijelaskannya, dari pertemuan ini, semua anggota DPRD sepakat dengan taat aturan dan regulasi, namun jika ada celah aturan sekecil apapun, kita berharap ada solusi. Karena permasalahan yang terjadi juga merupakan permasalahan kita semua.

Syaiful Efendi juga menegaskan permasalahan ini bukan berdiri sendiri. disamping regulasi dan peraturan. Bahwa Pemerintah sebelumnya pada tanggal 18 Februari 2025 telah mengeluarkan surat edaran.

“Artinya, apa yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah sekarang tidak berdiri sendiri tetapi juga mengesekusi apa yang sudah ditandatangani oleh Pemerintah Daerah sebelumnya. DPRD berharap ada jalan terbaik karena ini bukan saja permasalahan Bukittinggi tetapi juga permasalahan masyarakat Indonesia,” jelas Syaiful Efendi.

Sedangkan Yerry Amiruddin, S.E. Sekretaris Komisi 1 DPRD Kota Bukittinggi mengatakan apresiasi kepada tenaga honorer yang sudah menyampaikan terhadap apa yang terjadi saat ini. Dari pertemuan tadi DPRD tetap mengikuti aturan dari pusat.

“Sebenarnya kekisruhan yang terjadi per 1 April tidak berdiri sendiri, ada rangkaian-rangkaian jauh sebelum ini sudah ada regulasi yang dilanggar secara terang-terangan, ini yang menjadi kekisruhan kita saat ini. Permasalahan ini harus diselesaikan secara kompleks untuk melihat dimana letak kesalahan dan siapa yang bertanggung jawab,” ucapnya..

Yerry Amiruddin juga menyampaikan kebijakan saat sekarang ini, jangan menimbulkan persoalan dikemudian hari. Selanjutnya, juga meminta kepada pimpinan untuk diperdalam persoalan ini sesuai dengan fungsi pengawasan DPRD untuk membahas persoalan ini agar semua bisa terungkap secara terang benderang sehingga tidak ada yang dikorbankan.

“Kita tidak ingin Pemerintah memberikan harapan yang tidak jelas kepada tenaga honorer ini karena ini menyangkut 947 orang nasib dari pada tenaga honorer atau pegawai kontrak ini,” ujar Yerry.(Tim Media Bukittinggi Agam/Forum Pers Independen Indonesia (FPII) Bukittinggi Agam)

Berita terkait : https://indonesiaekspres.com/riyan-permana-putra-sebut-bukittinggi-gemilang-bisa-menjadi-bukittinggi-gelap-jika-pemda-dan-dprd-bukittinggi-tak-beri-kepastian-kepada-honorer-yang-dirumahkan/

Bagikan:
Hubungi Pengacara