
Riyan Permana Putra sebut Bukittinggi Gemilang bisa menjadi Bukittinggi Gelap Jika Pemda dan DPRD Bukittinggi Tak Beri Kepastian kepada Honorer yang Dirumahkan
Bukittinggi – Di tengah perayaan Idul Fitri yang penuh kegembiraan, ratusan tenaga honorer di Pemerintah Kota Bukittinggi justru menghadapi kenyataan pahit. Sejak awal April 2025, sebanyak 947 pegawai kontrak resmi diberhentikan. Situasi ini membuat beberapa tokoh masyarakat termasuk tokoh muda Bukittinggi, Dr (c). Riyan Permana Putra, SH, MH meminta DPRD Bukittinggi dan Walikota Bukittinggi (saayun salangkah) untuk segera merumuskan kebijakan yang dapat menyelamatkan nasib honorer yang akan dirumahkan. Menurutnya ini adalah ujian serius Walikota Bukittinggi periode 2025–2030, yaitu terkait persoalan honorer.
Riyan Permana Putra yang juga merupakan perintis Perkumpulan Pengacara dan Konsultan Hukum (PPKHI) Sumatera Barat menambahkan bahwa ia juga meminta kepada anggota DPRD Bukittinggi untuk menyuarakan kembali kepada pemerintah daerah untuk bisa menyelesaikan masalah tenaga honorer ini, jika pemda bersama DPRD Bukittinggi tak bisa memberi kepastian kepada honorer yang dirumahkan, Bukittinggi Gemilang diduga bisa menjadi Bukittinggi Gelap.
“DPRD Bukittinggi sebagai legislatif wajib memperjuangkan nasib honorer yang akan dirumahkan. Kewajiban DPRD dalam memperjuangkan nasib masyarakat ini tercantum dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 pada Pasal 104 dan Peraturan DPRD Nomor 1 Tahun 2018 tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Bukittinggi. Jika pemda bersama DPRD Bukittinggi tak bisa memberi kepastian kepada honorer yang dirumahkan, Bukittinggi Gemilang diduga bisa menjadi Bukittinggi Gelap bagi mereka yang terdampak (dirumahkan).” katanya di Bukittinggi, pada Kamis, (3/4/2025).
Riyan Permana Putra melanjutkan bahwa PHK massal dapat berdampak luas pada kehidupan para honorer dan keluarganya.
“Kita tentu tidak ingin ada PHK besar-besaran. Bayangkan berapa banyak keluarga yang akan kesulitan ekonominya apabila mereka dirumahkan,” ujarnya.
Menurutnya, masalah ini tidak hanya terjadi di Bukittinggi tetapi juga di berbagai daerah lain.
Riyan Permana Putra berharap Walikota dan DPRD Bukittinggi memberikan perhatian khusus terhadap masalah ini. Seharusnya pasca lebaran ini DPRD harus memasukkan persoalan ini dalam pembahasan bersama dinas terkait, seperti bagaimana tindak lanjut rapat kerja khusus yang pernah akan dijadwalkan antara Komisi I DPRD Bukittinggi dan BKPSDM, sebagaimana dilansir dari Kaba 12 pada 24 Januari 2025 lalu.
“Kami berharap DPRD dan Walikota Bukittinggi saayun salangkah untuk segera mengambil langkah konkret untuk mengatasi masalah ini, jika memang akan diangkat kembali melalui outsourcing, harus ada hitam di atas putih, jadi tidak omon-omon. Harus tertulis, semisal lewat rekomendasi dari DPRD Bukittinggi tentang kepastian honorer Bukittinggi yang di rumahkan harus diangkat kembali melalui outsourcing,” tegas Riyan Permana Putra.
“Tantangan terbesar masih terletak pada bagaimana memastikan tenaga honorer yang terdampak mendapatkan kejelasan dan hak-haknya dalam skema outsourcing yang sedang dipersiapkan. Kita berharap DPRD Bukittinggi berkomitmen mengawal proses ini hingga ada solusi yang memberikan kepastian bagi para tenaga honorer yang telah lama mengabdi,” tuturnya.
Dilansir dari Jateng Gayeng News, kebijakan ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan tenaga honorer yang sangat bergantung pada pekerjaan mereka untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Rina (34), salah satu tenaga honorer yang terkena dampak, mengungkapkan rasa kecewanya.
“Saya sudah bekerja lebih dari tujuh tahun, tiba-tiba diberhentikan tanpa kepastian. Saya khawatir bagaimana membiayai sekolah anak-anak,” katanya dengan suara bergetar.
Sebelumnya, sebagaimana dilansir dari Antara, sebanyak 947 pegawai tenaga honor di lingkungan Pemerintah Kota Bukittinggi, Sumatera Barat harus dirumahkan sesuai aturan dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB).
“Ini menjadi masalah nasional, semua ditentukan dari kementerian dan bukan kebijakan gubernur atau wali kota. Di Bukittinggi ada 947 tenaga kontrak atau honor yang belum masuk database terpaksa dirumahkan mulai April nanti,” kata Wali Kota Bukittinggi.
Walikota Bukittinggi mengungkap pihaknya berupaya untuk merekrut dan mempekerjakan kembali ratusan pegawai honor itu melalui jalur outsourcing.
“Kami melakukan penyusunan aturan baru sebagai langkah solusi bagi mereka. Ratusan pegawai itu diprioritaskan melalui jalur outsourcing atau pihak ketiga,” kata Walikota Bukittinggi
Ditempat berbeda, Riyan Permana Putra, tokoh muda Bukittinggi dan merupakan perintis Perkumpulan Pengacara dan Konsultan Hukum Indonesia (PPKHI) Sumatera Barat ini menyatakan Surat Edaran (SE) Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MenPAN-RB) tentang penghapusan tenaga honorer masih menjadi polemik di lingkungan Pemerintah Pusat dan Daerah.
Riyan Permana Putra menegaskan, tujuan dasar SE MenPAN-RB sebenarnya bukan menghapus honorer, tetapi menata pegawai non-ASN.
Terkait Bukittinggi akan memberdayakan honorer melalui outsourcing, Riyan Permana Putra menjelaskan bahwa adapun penggunaan pihak ketiga tenaga alih daya atau outsourcing hanya bisa digunakan untuk pekerjaan seperti pengemudi, tenaga kebersihan dan satuan pengamanan. Pengemudi, tenaga kebersihan dan satuan pengamanan tidak ada dalam regulasi jabatan PPPK sehingga dialihkan ke outsourcing.
Riyan Permana Putra pun mengamini, ini tidak ada tendensi politik, karena dari kajian Perkumpulan Pengacara dan Konsultan Hukum Indonesia (PPKHI) Bukittinggi, pemerintah daerah yang tetap mengangkat tenaga honorer akan diberi sanksi dan menjadi temuan Aparat Pengawas Intern Pemerintah (APIP) maupun pengawas eksternal.
Riyan Permana Putra juga menjelaskan, dalam SE Nomor: B/185/M.SM.02.03/2022 tertanggal 31 Mei, pemerintah ingin menyelesaikan masalah honorer yang telah bekerja di lingkungan instansi pemerintah. Upaya penyelesaian honorer ini, sudah dilakukan sejak 2005 lewat PP Nomor 48 Tahun 2005 jo PP Nomor 43 Tahun 2007.
Selain itu, Riyan Permana Putra mengungkap, Pemerintah daerah (Pemda) dibuat pusing dengan rencana penghapusan honorer. Salah satu solusinya yakni mengalihkan honorer jadi outsourcing.
Selain sebagai solusi, menurut Riyan Permana Putra, pengalihan tenaga honorer menjadi outsourcing juga bisa memunculkan masalah baru, terutama di daerah dengan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) yang tinggi.
Berdasarkan kajian PPKHI Bukittinggi, data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita tahun 2023, Kota Bukittinggi ditetapkan sebagai wilayah terkaya di Sumatera Barat. Pencapaian PDRB tersebut menjadikan Kota Bukittinggi sebagai daerah yang mempunyai PDRB terbesar di Sumatera Barat. Bisa dikatakan juga kalau Kota Bukittinggi merupakan kota termakmur dan juga terkaya di ranah Minang, besaran UMK di Kota Bukittinggi di bawah Rp 3 juta.
Selama ini, menurut Riyan Permana Putra tenaga honorer yang bekerja di pemerintahan daerah tidak semata-mata berorientasi terhadap gaji. Sebab, gaji yang diperoleh mereka relatif jauh lebih rendah dibanding PNS atau PPPK. Jika memakai sistem outsourcing, mereka akan digaji sesuai UMK. Padahal, diduga gaji tenaga honorer di beberapa daerah selama ini masih di bawah UMK.
“Misalnya honorer berubah menjadi tenaga outsourcing, dipastikan perhitungan gaji tidak berpatokan pada kekuatan fiskal daerah, tapi berdasar UMK. Jadi, jika gaji outsourcing dibayarkan oleh pemerintah pusat maka honorer yang dialihkan menjadi tenaga outsourcing dapat dipertahankan seluruhnya. Sebaliknya, jika penggajian outsourcing tetap dibebankan kepada daerah, sudah pasti banyak tenaga honorer yang akan kehilangan pekerjaan, karna ketidakmampuan fiskal suatu daerah,” ujarnya.
Terakhir, Riyan Permana Putra yang pernah menjadi pengacara salah satu terdakwa terkait Pengelolaan Pasar Ateh Bukittinggi juga menyatakan dengan merealisasikan kebijakan honorer ke outsourcing diduga dapat membuka celah terjadinya praktek tindak pidana korupsi, jadi pemda harus waspada karena alurnya hampir sama dengan proses pengadaan barang dan jasa yang selama ini menduduki peringkat kedua dalam kasus korupsi terbanyak di Indonesia, ungkapnya.
“Terlebih lagi, perubahan honorer ke outsourcing, diduga hal tersebut juga dapat memicu terjadinya dugaan proses suap dari pihak perusahaan untuk memenangkan tender guna memasok tenaga kerja demi mengisi formasi yang dibutuhkan oleh pihak pemerintah,” tutupnya.(Tim Media Bukittinggi Agam/Forum Pers Independen Indonesia (FPII) Bukittinggi Agam)