
Riyan Permana Putra sebut Ketua DPRD Bukittinggi Harusnya Temui dan Terima Aspirasi Mahasiswa
Bukittinggi – Sebagaimana dilansir dari Utama Pos, aksi penolakan RUU TNI di depan Kantor DPRD Kota Bukittinggi pada Kamis lalu pada (20/3/2025) berakhir mengecewakan, pasalnya pihak DPRD tidak menyambut baik kedatangan mahasiswa dan masyarakat sipil. Meskipun sudah menunggu dari pukul 14.00 sampai hampir berbuka puasa. Dewan Perwakilan Rakyat enggan mendengarkan suara Rakyat. Jadi, sebenarnya siapakah yang diwakili oleh DPRD Bukittinggi.
Dr (c). Riyan Permana Putra, yang merupakan perintis Perkumpulan Pengacara dan Konsultan Hukum Indonesia (PPKHI) Sumatera Barat dan merupakan tokoh muda Bukittinggi ini menyatakan seharusnya Ketua DPRD Bukittinggi menemui aksi mahasiswa, karena pimpinan DPRD wajib memperjuangkan aspirasi masyarakat.
“Seharusnya Ketua DPRD Bukittinggi menerima aspirasi mahasiswa, aspirasi masyarakat dapat disampaikan dalam berbagai bentuk, seperti: Secara tertulis, Secara lisan, Melalui unjuk rasa atau demonstrasi, Melalui kunjungan kerja DPRD, Secara daring atau online. Kewajiban DPRD dalam memperjuangkan aspirasi rakyat tercantum dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 pada Pasal 104 dan Peraturan DPRD Nomor 1 Tahun 2018 tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Bukittinggi,” kata Riyan Permana Putra di Bukittinggi pada Minggu, (30/3/2025).
Terkait adanya dugaan tindakan represif pada aksi mahasiswa di DPRD Bukittinggi saat aksi tolak RUU TNI, Riyan Permana Putra yang dulu pernah menjadi pengurus Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini mendesak aparat keamanan untuk dapat menjalankan tugasnya dengan tidak menggunakan tindakan represif dan menghormati hak kebebasan berekspresi serta berpendapat masyarakat sebagai bagian dari hak asasi manusia.
Riyan Permana Putra juga menegaskan bahwa, “kebebasan berpendapat adalah hak fundamental dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, mengingat Indonesia merupakan negara demokrasi. Hak ini telah secara jelas diatur dalam Pasal 28 UUD 1945 dan Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998. Oleh karena itu, aturan ini seharusnya menjadi landasan bagi aparat untuk menghormati setiap ekspresi dan pendapat para demonstran,” tegasnya.
Selain hal tersebut, Riyan Permana Putra menegaskan bahwa “Aparat keamanan harus bertindak secara profesional dan senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai Hak Asasi Manusia dalam melaksanakan tugas pengamanan pada hari ini dan seterusnya. Kepolisian harus menjalankan tugas dan fungsinya sesuai dengan prinsip-prinsip serta standar Hak Asasi Manusia yang telah diatur dalam Perkap Nomor 8 Tahun 2009.” Penekanan ini sangat penting mengingat masih sering terjadi insiden di mana Polri menggunakan tindakan represif dalam menjalankan tugasnya, yang mengakibatkan korban luka-luka, bahkan hingga korban jiwa.
Riyan Permana Putra juga menekankan pentingnya penggunaan kekuatan yang didasarkan pada prinsip kebutuhan dan proporsionalitas, serta mengedepankan langkah-langkah preventif sesuai dengan ketentuan dalam Perkap No. 1 Tahun 2009. Penggunaan senjata oleh aparat dalam menjalankan tugas juga harus disesuaikan dengan situasi dan dilakukan sedemikian rupa untuk mengurangi risiko yang tidak diinginkan, sebagaimana diatur dalam United Nations Basic Principles on the Use of Force and Firearms by Law Enforcement Officials.
Sebelumnya sebagaimana dilansir dari Utama Pos, aksi penolakan RUU TNI di depan Kantor DPRD Kota Bukittinggi pada Kamis, 20/3/2025 berakhir mengecewakan, pasalnya pihak DPRD tidak menyambut baik kedatangan mahasiswa dan masyarakat sipil. Meskipun sudah menunggu dari pukul 14.00 sampai hampir berbuka puasa. Dewan Perwakilan Rakyat enggan mendengarkan suara Rakyat. Jadi, sebenarnya siapakah yang diwakili oleh DPRD Bukittinggi.
Aliansi mahasiswa Bukittinggi yang terdiri dari beberapa Universitas seperti UIN Sjech M Djamil Djambek Bukittinggi, Universitas Mohammad Natsir (UMN) Bukittinggi dan Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat (UMSB) Bukittinggi juga dihadiri Organisasi Kepemudaan (OKP) Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) serta masyarakat sekitar kota Bukittinggi yang menyuarakan aspirasi dan menyatakan penolakan terhadap RUU TNI sama sekali tidak digubris.
Ketua Umum HMI Cabang Bukittinggi (Ahmad Zaki) mengatakan, “Aksi penolakan Revisi Undang-undang TNI (RUU TNI) yang telah disahkan ke depan gedung DPRD bukittinggi sempat diwarnai dengan kericuhan dan korban karena Ketua DPRD enggan menemui mahasiswa. Kami menolak keras atas UU TNI yang disahkan oleh DPR RI karna kami menggaggap tidak seharusnya militer diberi ruang ke ranah-ranah sipil. Ini bentuk pengkhiatan terhadap amanat reformasi dan gejala munculnya kembali orde baru yang ditakuti masyarakat sipil.”
Berawal dari titik kumpul di depan Tugu Polwan Bukittinggi hingga ke depan kantor DPRD Bukittinggi ratusan mahasiswa dan masyarakat menyampaikan aspirasi dan menolak keras RUU TNI. Saat tiba di depan kantor DPRD Bukittinggi aliansi mahasiswa Bukittinggi juga menampilkan teatrikal dan orasi.
Presma UIN Bukittinggi (Ghazi Falih) menyampaikan bahwa “DPRD Bukittingi ini sangat tidak mewakili masyarakat, DPRD Bukittinggi hanya makan gaji buta.
Pengesahan RUU TNI yg di lakukan DPR RI menjadi catatan hitam bagi sejarah indonesia, amanah reformasi sudah dilacurkan.
UU TNI resmi disahkan! secara tidak langsung dwifungsi ABRI dihidupkan. Ada 3 pasal yang sangat krusial :
Pasal 3 point 2 TNI berada “di bawah” koordinasi Departemen Pertahanan menjadi TNI berada “di dalam” koordinasi Menteri Pertahanan.
Pasal 47 Prajurit Aktif dapat menduduki jabatan sipil artinya ada perluasan ranah TNI ke lembaga sipil tanpa harus menunggu non aktif atau pensiun (dwi fungsi) serta penambahan lembaga yg boleh di duduki TNI menjadi 16 lembaga (dari awalnya 10 lembaga) yang artinya berkemungkinan TNI bisa menduduki hampir di ‘semua lembaga sipil’.
Pasal 53 tentang bagaimana usaha penambahan batas usia pensiun TNI (dengan pengklasifikasian tingkat jabatan TNI).
Maka dari itu kami Aliansi Mahasiswa Bukittinggi dan Masyarakat Sipil menuntut:
1. Dengan tegas meminta DPR-RI untuk membatalkan pengesahan RUU TNI.
2. Segala bentuk kebijakan yang menyangkut rakyat dilakukan dengan keterbukaan dan partisipasi publik, bukan dalam forum tertutup yang mengabaikan suara rakyat.
3. Adanya perlindungan hukum terhadap individu dan kelompok dalam menyuarakan kritik kebijakan pemerintah serta menjamin tidak adanya tindakan intimidasi.
Sayangnya, aksi ini malah mendapatkan tindakan refresif dari salah satu oknum satpam. Benar, tidak hanya aparat kepolisian tetapi satpam juga dikerahkan. Ada apa dengan DPRD Kota Bukittinggi? Apakah “Siap, Ndan” sudah mulai berlaku perhitungan jam disahkan? Bahkan 1 orang sampai dilarikan ke IGD RS Yarsi karena mengalami kekerasan dibagian perut dan 1 orang ke RS Otak Bukittinggi akibat luka di jari tangan mendapatkan 2 jahitan.
Aliansi mahasiswa Bukittinggi dan Masyarakat Sipil Bukittinggi awalnya meminta secara baik-baik, Ketua DPRD untuk turun mendengarkan aspirasi tetapi bukannya menuruti keinginan Rakyat Ketua DPRD justru memilih “anteng” di dalam ruangan.
Fikri Lafendra selaku Ketua Umum Cabang GMNI Bukittinggi yang ikut serta dalam Aksi mengatakan bahwa ”Sebelumnya RUU TNI yang dibahas di hotel secara tertutup tanpa partisipasi publik yang jelas dan negara sedang melakukan efesiensi anggaran malah melakukan rapat pembahasan RUU TNI yang ugal-ugalan dan pada hari Kamis 20 Maret 2025 telah di ketok palu RUU TNI menjadi UU TNI oleh DPR RI. Namun demikian perjuangan tidak bisa berhenti karena ketok palu saja. perjuangan akan tetap ada.”
Seharusnya UU TNI ini dievaluasi kembali dan ditinjau ulang karena banyak pasal yang bertentangan dan menjadi pro-kontra oleh semua kalangan, salah satu nya dalam pasal 47 di jelaskan bahwa prajurit aktif dapat menduduki jabatan pada kantor yang membidangi koordinator bidang politik dan institusi lainnya.
“Kami menolak ini secara tegas. Kembalikan TNI ke barak,” orasi mahasiswa.
Padahal sudah jelas yang di sampaikan oleh presiden pertama Republik Indonesia di kala itu mengatakan dalam amanat pidato Presiden Sukarno saat Hari Ulang Tahun (HUT) Republik Indonesia 17 Agustus 1953. Dalam pidato tersebut Bung Karno dengan tegas mengatakan bahwa angkatan perang atau ABRI tidak boleh terjerumus dalam politik. Sejatinya tentara harus tetap berada pada ruhnya yakni menjaga kedaulatan negara, bukan berpolitik.
Tentu saja, aksi yang tidak disambut baik ini membuat Mahasiswa dan Masyarakat Sipil Bukittinggi semakin tidak percaya dengan Pemerintah.
Terakhir, Ketua Umum HMI Cabang Bukittinggi mewakili para demonstran menyampaikan pernyataan sikap.
“Hari ini kami Mahasiswa Bukittinggi menyatakan sikap bahwa Ketua DPRD Bukittinggi beserta jajarannya mandul dan tidak berguna di kota ini. Setelah ini kita akan melaksanakan aksi yang lebih besar kawan-kawan, lebih masih lagi di Bukittinggi. Kita tegaskan mosi tidak percaya kepada DPRD Bukittinggi. Hidup Mahasiswa! Hidup Rakyat Indonesia! Hidup Perempuan yang Melawan! Yakin Usaha Sampai,” tutupnya.(Tim Media Bukittinggi Agam/Forum Pers Independen Indonesia (FPII) Bukittinggi Agam)