Terkait Kasus ASN di Bukittinggi yang Dijemput Paksa dari Rumah Sakit Jiwa Padang, Riyan Permana Putra Sarankan Restoratif Justice dan Gelar Perkara Khusus

Bukittinggi – Terkait kasus dugaan pencabulan yang diduga dilakukan RP yang bekerja sebagai ASN Bukittinggi, Dr (c). Riyan Permana Putra, SH, MH yang merupakan perintis Perkumpulan Pengacara dan Konsultan Hukum Indonesia (PPKHI) Sumatera Barat menyatakan seharusnya jemput paksa tak terjadi karna sudah jelas RP seharusnya tidak bisa dipidana karena berdasarkan diagnose dokter menghidap gangguan jiwa.

“Dimana menurut Pasal 44 ayat (1) KUHP menyatakan bahwa seseorang yang melakukan perbuatan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan karena cacat mental atau gangguan jiwa tidak akan dipidana,” kata Riyan Permana Putra, pada Selasa, (25/3/2025) di sela-sela sidang di Pengadilan Negeri Bukittinggi.

Dan juga seharusnya menurut Riyan Permana Putra, Polresta Bukittinggi tidak mempersulit RP melakukan pemeriksaan kesehatan. Karna menurut Pasal 58 KUHAP, tersangka atau terdakwa yang dikenakan penahanan berhak menghubungi dan menerima kunjungan dokter pribadinya untuk kepentingan kesehatan baik yang ada hubungannya dengan proses perkara maupun tidak, tambahnya.

Lalu terkait dugaan gelar perkara yang dilakukan oleh Reskrim Polresta Bukittinggi diduga cacat hukum, Riyan Permana Putra mengungkapkan diduga karna RP dan kuasa hukum menurut istri RP tidak pernah diundang untuk menghadiri gelar perkara. Ini menurut doktrin hukum dari Frans Hendra Winarta tentang Gelar Perkara, dalam tulisannya berjudul Gelar Perkara Bagian dari Sistem Peradilan, memandang gelar perkara adalah bagian dari proses dan sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system). Secara formal, gelar perkara dilakukan oleh penyidik dengan menghadirkan pihak pelapor dan terlapor. Jika tidak menghadirkan pelapor dan terlapor maka gelar perkara yang dilakukan, dapat cacat hukum, jelasnya.

Riyan Permana Putra juga mengharapkan Wassidik Polda Sumbar dapat membantu untuk melaksanakan Pasal 38 Perkapolri Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana yang mengamanatkan Pejabat pengemban fungsi pengawasan penyidikan untuk :

a. melakukan pengawasan penyelidikan dan penyidikan dilingkungan Polri;
b. melakukan pemeriksaan materi dan administrasi penyidikan;
c. melakukan pemeriksaan pendahuluan terhadap Penyidik/Penyidik Pembantu; dan
d. melakukan koordinasi dengan fungsi pengawasan diluar fungsi reserse kriminal.

Selain itu Riyan Permana Putra juga mengharapkan Wassidik Polda Sumbar segera melakukan gelar perkara khusus sebagaimana aturan Pasal 71 ayat (1) Perkapolri 14 Tahun 2012 Manajemen Penyidikan Tindak Pidana dijelaskan bahwa selain gelar perkara biasa juga ada gelar perkara khusus. Gelar perkara khusus ini bertujuan untuk :

a. merespons laporan/pengaduan atau komplain dari pihak yang berperkara atau penasihat hukumnya setelah ada perintah dari atasan penyidik selaku penyidik.

Terakhir, Riyan Permana Putra berharap dengan kondisi RP yang diduga memenuhi Pasal 44 ayat (1) KUHP menyatakan bahwa seseorang yang melakukan perbuatan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan karena cacat mental atau gangguan jiwa tidak akan dipidana. Riyan Permana Putra tetap berharap ada upaya restorative justice sebagaimana diatur dalam Peraturan Kepolisian Nomor 8 Tahun 2021 dan Peraturan Kejari Nomor 15 Tahun 2020 dalam penyelesaian kasus RP.

“Lebih jelasnya dalam Pasal 5 ayat (1) Peraturan Kejari 15/2020 menyatakan perkara tindak pidana dapat ditutup demi hukum dan dihentikan penuntutannya berdasarkan keadilan restoratif,” kata alumni Universitas Indonesia ini lagi.

Kalau kita lihat, RP diduga bisa memenuhi syarat materil Restorative Justice sebagaimana diatur dalam Pasal 4 huruf e Peraturan Kepolisian 8 Tahun 2021 yang berbunyi: ia bukan pelaku pengulangan tindak pidana berdasarkan Putusan Pengadilan, lanjutnya.

Dan Riyan menilai RP juga harus memenuhi syarat formil restorative justice dalam Pasal 6 ayat (1) Peraturan Kepolisian Nomor 8 Tahun 2021, yaitu kesepakatan perdamaian dari kedua belah pihak dan adanya pemenuhan hak korban, tekannya.

“Pemenuhan hak korban itu bisa berupa mengembalikan barang, mengganti kerugian, mengganti biaya yang ditimbulkan akibat dari tindak pidana, dan/atau mengganti kerusakan yang ditimbulkan dari tindak pidana tersebut,” ujarnya.

Restorative Justice ini bisa dilaksanakan karna telah ada MOU tentang Restorative Justice dengan melibatkan Ninik Mamak LKAAM, menindaklanjuti Peraturan Kepolisian Nomor 8 Tahun 2021, tegasnya.

Waktu itu kerjasama Polda dengan LKAAM ini ditandatangani Irjen Pol Teddy Minahasa Putra dengan Ketum LKAAM Sumbar Dr Fauzi Bahar Dt Nan Sati, yang isinya memberi peran kepada Ninik Mamak untuk memfasilitasi penyelesaian kasus hukum yang melibatkan anak kemanakan, sebutnya.

Dalam kajian PPKHI Bukittinggi, di Sumbar, jumlah kasus yang diselesaikan secara restorasi justice selama 2021 yakni sebanyak 1.011 dari 5.585 kasus.

“Sementara di 2022, dari total 2.257 kasus tindak pidana yang ditangani, sebanyak 257 kasus di antaranya dapat selesai melalui penerapan mekanisme restorative justice,” kata dia mengutip data dari Polda Sumbar.

Sebelumnya, sebagaimana dilansir dari Tempo, Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Kota Bukittinggi, Sumatera Barat, menahan seorang aparatur sipil negara tersangka pencabulan anak di bawah umur.

Tersangka inisial RP tersebut sudah ditetapkan sebagai tersangka pada Februari lalu. Ia selalu mangkir dari dua kali pemeriksaan.

“Terpaksa kami jemput ke Padang,” kata Wakil Kepala Satuan Reskrim Polresta Bukittinggi Ajun Komisaris Polisi Anidar di Bukittinggi, Jumat, 14 Maret 2025 seperti dilansir dari Antara.

Ia mengatakan RP merupakan seorang aparatur sipil (ASN) yang berdinas di Satuan Polisi Pamong Praja Kota Bukittinggi. Ia dilaporkan pada November 2024 oleh keluarga korban karena tidak terima anaknya dicabuli saat berlatih pencak silat dengan tersangka.

“RP diduga melakukan pencabulan terhadap anak di bawah umur yang merupakan anak didik silat,” kata Anidar.

Ia menjelaskan tersangka RP sempat mengeluh sakit dan dirawat di Rumah Sakit Otak D.T. Drs. M. Hatta, Kota Bukittinggi, selama beberapa hari setelah dimintai keterangan awal dan gelar perkara.

“Mungkin karena stres, kemudian ia dirawat hingga ke rumah sakit jiwa di Kota Padang,” katanya.

Anidar mengatakan kuasa hukum atau pengacara tersangka sudah mengajukan penangguhan penahanan terhadap kliennya. Ada pengajuan penangguhan penahanan tersangka disampaikan oleh pengacaranya, “tetapi sejauh ini belum dikabulkan,” katanya.

Kasus ini sebelumnya dilaporkan oleh orang tua korban ke polisi pada November 2024 dengan nomor surat STTLP/B/146/XI/2024 dengan terlapor inisial RP.

Dalam laporannya, keluarga korban mengungkap kejadian dugaan pencabulan terhadap anak itu dilakukan pada Minggu, 18 Agustus 2024, dan Selasa, 20 Agustus 2024.

RP dilaporkan atas dugaan pelanggaran Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. “Ancaman hukumannya maksimal 15 tahun penjara,” kata Anidar.(Tim Media Bukittinggi Agam/Forum Pers Independen Indonesia (FPII) Bukittinggi Agam)

Bagikan:
Hubungi Pengacara