Riyan Permana Putra sebut Monumen Imam Bonjol Bukittinggi Ingatkan Persatuan Kaum Adat dan Agama untuk Meraih Kemenangan

Bukittinggi – Dinas Lingkungan Hidup Kota Bukittinggi pada Selasa, (18/3/2025) melaksanakan perawatan taman dan monumen Tuanku Imam Bonjol di Simpang Tembok, Bukittinggi.

Ditempat berbeda, Dr (c). Riyan Permana Putra, SH, MH, yang merupakan salah satu tokoh muda Bukittinggi menyatakan fungsi Monumen Tuanku Imam Bonjol di Bukittinggi adalah sebagai pengingat kepada masyarakat terkait peristiwa perang saudara antara kaum adat dengan agama yang terjadi selama 18 tahun pada awal tahun 1800an, dan kemudian dilanjutkan bersatunya kaum adat dengan agama untuk
mengusir (meraih kemenangan terhadap) penjajah Belanda yang dikenal dengan perang padri yang berlangsung selama 16 tahun.
Monumen Tuanku Imam Bonjol juga memiliki makna perjuangan seorang pemimpin yang berjuang
berdasarkan ajaran Islam di Minangkabau.

Selain itu, menurut Riyan Permana Putra, monumen tidak hanya berfungsi sebagai pengingat sejarah tetapi juga sebagai
simbol identitas suatu daerah. Pendirian monumen sering kali mencerminkan penghormatan terhadap jasa pahlawan serta menjadi bagian dari warisan budaya yang dijaga oleh pemerintah.

Riyan Permana Putra juga menegaskan, bahwa masyarakat adalah garda terdepan pelestarian monumen di Bukittinggi.

“Masyarakat adalah garda terdepan pelestarian cagar budaya. Pemda Bukittinggi perlu berkolaborasi dengan masyarakat untuk mengenalkan dan melestarikan monumen. Apalagi di Bukittinggi banyak monumen, diantaranya: Jam Gadang, Jam Gadang Kecil, Tugu Perang Tahun Salapan di depan Hotel Denai, Tugu Pahlawan Tak Dikenal yang mana tugu ini dibangun untuk mengenang gugurnya para pahlawan yang tak bisa dikenal secara pasti dalam menentang kolonialisme Belanda pada tanggal 5 Juni 1908. Peletakan batu pertama tugu ini dilakukan oleh Jend. A.H. Nasution pada tanggal 15 Juni 1963, lalu ada Monumen Bung Hata, Monumen Polwan untuk memperingati lahirnya polwan pertama di Indonesia, ada juga Monumen Pendidikan Opsir Divisi IX Banteng Sumatera Tengah, Monumen Tentara Pelajar di SMU N 2 Bukittinggi, dan ada monumen tugu Perang Kamang & Manggopoh yang juga butuh perhatian yang berada di depan Sekolah Menengah Kejuruan Swasta di areal perumahan Kodim Bukittinggi,” tegas Riyan Permana Putra pada Rabu, (19/3/2025).

Jika kita lihat dalam UURI No. 11 Tahun 2010, menurut Riyan Permana Putra, tidak seluruh monumen di Bukittinggi termasuk cagar budaya, karena cagar budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan.

Berdasarkan Undang-Undang bahwa Cagar Budaya adalah warisan budaya yang bersifat kebendaan atau yang biasa disebut dengan bersifat tangible. Artinya bahwa warisan budaya yang masuk ke dalam kategori Cagar Budaya adalah warisan budaya yang berwujud konkrit, dapat dilihat dan diraba oleh indra, mempunyai massa dan dimensi yang nyata. Contohnya batu prasasti, candi, nisan makan, dan lainnya.

Sedangkan warisan budaya yang bersifat intangible seperti bahasa, tarian dan sebagainya tidak termasuk pada kategori Cagar Budaya.

Ada lima jenis Cagar Budaya, yaitu Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya.

“Sesuatu dapat dikatakan Cagar Budaya jika memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan. Penentuan nilai penting ini dilakukan berdasarkan kajian mendalam oleh Tim Ahli Cagar Budaya dibantu oleh lembaga yang berhubungan dengan kebudayaan,” jelasnya.

Suatu benda dapat dikatakan Cagar Budaya jika sudah melalui proses penetapan. Tanpa proses penetapan suatu warisan budaya yang memiliki nilai penting tidak dapat dikatakan sebagai Cagar Budaya.

“Kriteria Benda Cagar Budaya, yaitu berusia 50 tahun atau lebih. Mewakili masa gaya yang paling singkat berusia 50 tahun. Memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama dan/atau kebudayaan. Memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa,” terang Riyan Permana Putra.

Dalam perjalanannya, monumen tidak sekadar menjadi bangunan pengingat peristiwa di masa lalu. Tapi sudah juga sudah menjadi bagian dari evolusi Undang-Undang Cagar Budaya.

Sebelum menjadi UU Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, Indonesia lebih dulu memiliki Monumen Ordonantie tahun 1931. Yakni undang-undang yang fokus menangani monumen pada masa purbakala yang dibentuk Belanda. Pada masa pemerintahan Indonesia, aturan itu beralih ke UU Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya.

”Kalau pada masa Belanda, struktur, prasasti, dan ornamen lain yang bisa menjadi penanda atau pengingat itu termasuk monumen,” ujar Riyan Permana Putra. Namun, sekarang ada persyaratan tertentu yang membuat ornamen bisa ditetapkan sebagai Cagar Budaya. Salah satunya adalah berusia lebih dari 50 tahun.

Berbeda dengan cagar budaya, perawatan monumen biasanya dilakukan oleh perangkat pemerintah daerah. Misalnya, dinas lingkungan hidup. Perawatan juga tetap harus dilakukan secara rutin seperti dengan penyemprotan atau pembersihan lainnya, tutupnya.(Tim Media Bukittinggi Agam/Forum Pers Independen Indonesia (FPII) Bukittinggi Agam)

Bagikan:
Hubungi Pengacara