Pangkas Rambut Pasar Raya Padang yang Legendaris
Padang – Di tengah perkembangan zaman dan teknologi, sejumlah sisi sektor usaha mengalami perubahan. Usaha potong rambut misalnya. Kini anak muda lebih mengenal dengan barbershop.
Namun di tengah menjamur usaha barber shop, tukang pangkas rambut tradisional masih saja tetap terus eksis. Walaupun kini pelanggannya sudah mulai berkurang, karena pergeseran mindset dari konsumen.
Tak ada salahnya jika saat ini kita bisa kembali sedikit bernostalgia dan mengenang metode potong rambut secara sederhana dengan peralatan seadanya bahkan dengan lokasi yang cenderung masih sama dengan periode beberapa tahun silam, sebelum peralatan cukur rambut listrik banyak dijumpai.
Kita bisa berjalan jalan sambil mengenang kembali proses potong cukur rambut legendaris dengan bapak-bapak tukang cukur rambut yang sudah menekuni profesi ini lebih dari 30 tahun yang lalu, tepatnya di Pasar Raya Padang.
Di Pasar Raya Padang memang masih terdapat pusat potong rambut tradisional yang masih eksis hingga saat ini.
Di tempat ini para penata rambutnya kebanyakan generasi generasi 60-an. Mereka merapikan rambut para pasiennya dengan alat yang sudah sulit ditemukan. Apalagi di barber shop. Sebut saja itu ketam, silet, sisir, kuas, dan kursi cukur lama. Selain itu juga ada potongan koran, sabun, penjempit pakaian, bedak bayi, dan sepotong kaca di meja tukang pangkas rambut itu.
Meja itu ternyata milik Nazar. Pria kelahiran Padang Pariaman, Sumatera Barat 1932 itu, sudah lama mengais reski di tempat itu. Tepatnya sejak tahun 1962.
Ketika dikunjungi lensasumbar.com bersama Riyan Permana Putra, Direktur PT. Media Bukittinggi Agam, pria itu terlihat masih lues mengayunkan alat cukur untuk merapikan rambut sang pasien.
Sama seperti tukang potong rambut pada umumnya. Pertama dia membasahi rambur menggunakan semprotan air, dengan sisir di tangan kiri dan ketam di tangan kanan. Tak sampai 30 menit rambut pasienya telah rapi.
Meski masih ada, namun keberadaannya pangkas rambut tradisional kian menyusut. Satu per satu, kepamorannya mulai tergantikan oleh tempat-tempat cukur modern, yang akrab disebut barbershop. Setidaknya dalam beberapa tahun belakangan ini.
Suka tidak suka, mereka mulai tertinggal. Apalagi jika dibandingkan dengan segala fasilitas yang ditawarkan barbershop. Sangat jauh rasanya. Tapi bagaimanapun juga, masih saja ada yang bertahan sampai hari ini. Biasanya, mereka mengandalkan pelanggan setia.
Sebenarnya, kata dia, para pelaku cukur tradisional juga memiliki keinginan untuk bertransformasi untuk menjadi lebih kekinian. Tapi sayangnya, untuk membuat gerai modern butuh modal yang tidak sedikit. Hal ini yang otomatis menjadi penghambat untuk mengejar ketertinggalan.
Nazar tidak menetapkan tarif jasanya karena mayoritas pengunjungnya berasal dari kelas menengah ke bawah.
“Tergantung kemampuan orang ya kalau itu (tarifnya) kebanyakan yang datang kesini orang menengah bawah. Jadi kalau mau cukur paling bayar berapa saja. Kadang kalau mereka dapat berkah lebih, mereka bayar lebih banyak,” ujar Nazar.
Nazar memandang bahwa menjamurnya barbershop tidak lantas membuat mengancam eksistensi tempat-tempat cukur tradisional. Ia memiliki dua alasan terkait itu.
Pertama, soal segmentasi pasar, kedua, terkait kualitas pangkas. Soal yang pertama, menurut Nazar, karena barbershop cenderung menargetkan anak-anak muda, kalangan tua yang tidak nyaman dengan model rambut kekinian biasanya pun enggan pergi ke sana. Hal ini ia dengar sendiri dari sejumlah pelanggan tetapnya.
“Kalau di Padang, banyak kasus orang tua masuk ke barber terus komplain karena potongannya kekinian semua. Saya banyak dengar dari konsumen. Mungkin mereka penginnya potong rapi formal buat instansi, makanya jadi komplain,” tutur Nazar.
Kedua, soal kualitas, seiring berlalunya waktu, imbuh Nazar, ternyata banyak juga pelanggan yang orang tua dan anak-anak. Ia lantas berkesimpulan bahwa ramai atau tidaknya sebuah tempat pangkas lebih dipengaruhi oleh kualitas hasil pangkasnya. Alih-alih fasilitas, kualitas hasil pangkaslah yang justru akan membuat klien datang ke tempat pangkas itu, lagi dan lagi.
“Untuk kualitas hasil tetap tidak bisa dibohongi, Pak Riyan. Kalau persaingan tempat cukur biasa (tradisional) dengan barber saya kira enggak begitu masalah, karena punya segmen sendiri-sendiri. Paling ya kemudian pelanggan yang menilai di kualitas hasil potong,” demikian pungkas Nazar.
Dirilis Historia.id, pangkas rambut sudah mulai ada sejak zaman Belanda masih menjajah. Umumnya, barbershop menempati tempat-tempat yang eksklusif, seperti hotel, dan pelanggannya kebanyakan para pejabat Belanda atau orang Eropa.
Sementara orang-orang pribumi yang berkantong tipis lebih memilih cukur di tukang pangkas yang mangkal di bawah-bawah pohon. Budayawan cum akademisi Umar Kayam menyebut tukang cukur model ini dengan sebutan “cukur pitingan” atau “barber rakyat”.
Pada masa itu, barangkali barbershop dengan pangkas biasa tidak hanya merefleksikan perbedaan kelas, tetapi juga yang menjajah, dan terjajah.(Hendra)