Riyan Permana Putra Ungkap Jalan Keluar Mencegah Kasus Tindak Pidana terhadap Anak Dibawah Umur

Bukittinggi – Supir angkot yang membawa lari anak dibawah umur 14 tahun inisial S (14), akhirnya ditangkap oleh Polres Bukittinggi di Nagari Koto Tuo, Kecamatan lV Koto, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, pada Jum’at 15 Juli 2022.

Saat wartawan konfirmasi kepada Kasat Reskrim Polres Bukittinggi AKP Rolindo membenarkan bahwasanya memang ada penangkapan terhadap pelaku inisial A (31) warga Sungai Jariang, Koto Panjang, Kecamatan Ampek Koto yang diduga pelaku membawa lari anak dibawah umur, 14 tahun inisial S (14) Tahun warga Agam.

“Iya kita sudah tangkap pelaku inisial A, inisal A ini sudah lima kali melakukan perbuatan ini. Bahkan ada argumen si inisial A ini dengan pihak korban diri nya tidak akan bisa di tangkap oleh pihak kepolisian,” ungkap AKP Rolindo.

Lanjut dijelaskan Rolindo, itu si pelaku inisial A melarikan korban inisal S yang masih dibawah umur, selama satu minggu. Dan si pelaku di amankan oleh pihak  keluarga korban.

”Dan selanjutnya diamankan yang bertempat di Polsek IV Koto setelah itu baru kita bawa ke Kapolres Bukittinggi untuk proses. Dan si pelaku memang sudah punya istri tetapi dalam proses perceraian. A terduga pelaku akan di kenakan Pasal 332 ayat (1) ke- 1 KUHP berbunyi: diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun,” teranganya.

Menanggapi hal ini Ketua Perkumpulan Pengacara dan Konsultan Hukum Indonesia (PPKHI) Kota Bukittinggi, Dr (cand). Riyan Permana Putra, S.H., M.H., menyatakan, prihatin dengan kasus membawa kabur anak dibawah umur yang terjadi di Agam, Sumatera Barat.

“Apalagi sebentar lagi Hari Anak Nasional 2022 akan diperingati 23 Juli 2021. Peringatan Hari Anak Nasional ini berdasarkan amanat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1984. Karena pada dasarnya setiap anak berhak untuk mendapat perlindungan terhadap hak asasinya, bebas dari berbagai bentuk pelanggaran, kekerasan, ancaman, tekanan dan diskriminasi, serta harus mendapatkan kesempatan, kemudahan dan pemberdayaan untuk mencapai keadilan dan kesejahteraan dalam kehidupannya,” katanya di Bukittinggi pada Jumat, (15/7/2022).

Riyan menambahkan, memang berdasarkan Kajian PPKHI Kota Bukittinggi, kita lihat dari laporan Dinas PPPA Sumbar memperlihatkan angka kekerasan atau tindak pidana terhadap anak meningkat.

“Tentu ini harus menjadi konsen kita bersama kedepan agar berbagai upaya dapat dilakukan dalam perlindungan anak terhadap kekerasan di Sumatera Barat. Apalagi berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga menyebutkan bahwa Pemerintah Daerah bersama masyarakat berkewajiban melakukan upaya pencegahan, perlindungan, pemulihan terhadap korban kekerasan berbasis gender dan anak,” tambahnya.

Riyan melanjutkan PPKHI Bukittinggi mengkaji kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan meningkatkan dibandingkan tahun sebelumnya. Bahkan angka tertinggi kekerasan terjadi selama pandemi COVID-19 atau sepanjang 2020. Hal tersebut dicatat Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) di salah satu kota di Sumatera Barat.

“Apalagi jika lihat berdasarkan kekerasan terhadap anak di Indonesia telah masuk dalam tarap mengkhawatirkan. Berdasarkan data Sistem Informasi Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) pada periode 1 Januari-9 Juni 2021 terjadi 2.319 kasus kekerasan terhadap perempuan dewasa dengan 2.347 korban dan 3.314 kasus kekerasan terhadap anak dengan 3.683 korban,” pungkasnya.

Riyan melanjutkan dengan adanya data yang valid sangat bermanfaat untuk mengidentifimasi masalah dan menentukan opsi terbaik dalam penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Sumatera Barat.

“Meningkatnya kasus kekerasan salah satu penyebabnya adalah faktor ekonomi. Faktor lain, masih minim kesetaraan gender berdampak pada peningkatan kekerasan. Ditambah lagi penerapan pembelajaran sekolah secara daring selama pandemi sering terjadi aksi kekerasan. Selanjutnya masalah lingkungan, faktor gawai yang luar biasa besar pengaruhnya. Apalagi hampir satu tahun anak belajar daring. Penerapannya bagus, tapi kadang dengan pemakaian IT berdampak dengan hal yang tak wajar, ini merusak anak,” paparnya.

PPKHI Bukittinggi juga melihat pada data Komisi Nasional Perlindungan Anak Nasional atau KPAI pada 2019, sudah tercatat lebih dari tiga ribu anak telah menjadi korban kekerasan dan sudah diperjualbelikan di banyak negara terutama di Asia Tenggara seperti di Filipina, Singapura, dan Malaysia.

Jalan Keluar Meredam Kasus Kekerasan terhadap Anak

Salah satu isu strategis pasca Perang Dunia I dan Kedua pada awal dan media abad XX adalah masalah anak. Hal tersebut disebabkan karena korban yang paling mengenaskan pasca perang, selain wanita adalah anak-anak. Perang –dan juga aneka bencana– telah melahirkan anak-anak tiba-tiba menjadi yatim piatu, kehilangan orang-orang yang dicintai, mengalami cacat pisik, trauma mental, serta kehilangan harapan akan masa depannya.

Kenyataan itu membawa gerakan untuk melindungi anak (save children movement) dari berbagai kelompok masyarakat. Mereka mendesak kepada organisasi internasional, dan juga pemerintah negara-negara yang terlibat dalam perang untuk lebih memberikan perhatian kepada anak. Perjuangan para aktivis perlindungan anak mencapai puncak keberhasilan ketika pada tahun 1989 semua anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa menandatangani Konvensi Hak-hak Anak (Convention on the Rights of the Child).

Pemerintah kita pun telah mempunyai beberapa peraturan khusus untuk perlidungan terhadap  anak-anak. Peraturan tersebut terdiri dari Undang-Undang (UU) No 4/1979 tentang Kesejahteraan Anak, UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak, UU No 3/1997 tentang Pengadilan Anak, serta Keputusan Presiden No 36/1990 tentang Ratifikasi Konvensi Hak Anak.

“Jadi, meskipun sudah ada undang-undang, masyarakat Sumatera Barat juga harus ikut berperan dalam melindungi hak-hak anak, seperti kasus membawa kabur anak dibawah umur lalu berbagai macam bentuk kekerasan terhadap anak lainnya. Jangan sampai mereka menjadi pelaku utama, karena bila sudah seperti itu maka berbahaya untuk ke depannya. Masyarakat tentunya harus menjadi garda terdepan untuk selalu mengayomi dan melindungi serta memperjuangkan terpenuhinya hak anak-anak,” tutup Alumni Universitas Indonesia ini.(*)
 

Bagikan:
Hubungi Pengacara