Advokat dan Perannya menjaga Api Semangat Jurnalistik Pasca Seabad Rosihan Anwar
Oleh : Dr (cand). Riyan Permana Putra, S.H., M.H. [Ketua Forum Pers Independen Indonesia (FPII) Korwil Bukittinggi – Agam]
Sekarang kita memasuki seabad Rosihan Anwar (1922-2022). Rosihan adalah lelaki Minang asli, dilahirkan di Kubang Nan Dua, Sirukam, Kabupaten Solok, Sumatera Barat, tanggal 10 Mei 1922. Saya mengenal Rosihan Anwar lewat beberapa buku, tulisannya maupun cerita-cerita yang ditulis tentang sosok heroiknya sebagai wartawan senior. Pernah bertemu di Jakarta tapi tidak pernah ngobrol secara intensif. Bagi saya, idealisme wartawan yang dipegang teguh oleh Rosihan Anwar inilah yang penting untuk kita renungkan kembali—khususnya bagi para wartawan. Wartawan seperti yang kita baca dalam biografi Rosihan Anwar tidak boleh meninggalkan nilai-nilai dan kaidah-kaidah jurnalistik. Rosihan Anwar selalu komit untuk menulis dngan gaya reportase yang cerdas, lugas, dan jujur.
Tentu, apa yang ditandaskan oleh Rosihan Anwar ini tidak gampang dilaksanakan di era ketika media atau jurnalisme sudah masuk ranah industri dan bisnis. Godaan untuk tidak mengindahkan aturan jurnalisme demi mengeruk dan mengejar profit sangat besar di era sekarang. Sebab itu, tidak jarang, muncul kasus dimana berita bisa dibeli, dipelintir untuk kepentingan pemilik modal, dan sebagainya. Praktik jurnalisme bisa melenceng dari fungsinya sebagai media kontrol sosial dan edukasi.
Karier jurnalistik Rosihan Anwar dimulai sebagai reporter majalah Asia Raya pada era pendudukan Jepang. Profesi tersebut dilakoninya hingga proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.
Usai itu, Rosihan bekerja di harian Merdeka sebagai redaktur. Pada 1947 ia menerbitkan media sendiri, majalah berkala yang diberi nama Siasat. Rosihan menjadi pemimpin redaksinya ketika usianya terbilang masih muda, 25 tahun. Pada 1947 ini pula Rosihan menikahi perempuan pujaan hatinya, seorang gadis bernama Siti Zuraida.
Setahun kemudian, Rosihan menerbitkan surat kabar lagi, yaitu Pedoman, yang terbit setiap hari. Ia memimpin keredaksian Siasat selama satu dekade sebelum ia menyerahkan kendali majalah itu kepada Sanjoto pada 1957. Sanjoto sebelumnya menjabat sebagai wakil pemimpin redaksi. Rosihan sendiri selanjutnya lebih fokus mengurusi harian Pedoman.
Pembahasan mengenai Rosihan Anwar bagi dunia pers adalah sangat menarik, bahkan Ilham Bintang yang merupakan salah satu tokoh pers nasional menulis langsung bertajuk Seabad Rosihan Anwar (1922-2022): Wartawan Yang Tidak Bisa Dikalahkan. Ada yang menarik dari tulisan Ilham Bintang di Harian Singgalang tentang seratus tahun Rosihan Anwar itu. Pertama bahwa tidak ada yang bisa menghentikan Rosihan menulis kecuali Tuhan. Dia sempat merasakan kurungan besi di zaman Jepang karena perjuangan itu. Rezim pemerintahan Soekarno maupun Soeharto hanya berhasil membunuh surat kabarnya, “Harian Pedoman”, namun kedua pemimpin besar Indonesia itu tak bisa “mengalahkannya”. Dia tetap melakoni pekerjaannya sebagai wartawan mengkritisi rezim siapapun yang menjalankan pemerintahan di Indonesia.
Lalu kedua tentang hubungan cinta kasih pasangan itu memang bersemai di masa revolusi kemerdekaan. Ibu Zuraida masa itu tinggal di Yogyakarta. Pak Rosihan Anwar pernah membuka rahasia, mengapa dulu sering sekali meliput perjalanan Perdana Menteri (PM) Sutan Syahrir bolak balik Jakarta-Yogyakarta. Itu karena separuh panggilan tugas, separuh lagi sebab panggilan cinta, guraunya.
Dan ketiga tentu saja tentang sikapnya yang tetap independepen dan mempertahankan idealisme meski berbagai gempuran terhadapnya. Bahkan, di era kebebasan pers justru media massa seharusnya melakukan kontrol sosial. Pers jangan hanya kebanyakan berorientasi profit, berjiwa kapitalisme, dan jauh dari idealisme. Pers harus selalu bisa mempertahankan diri bekerja independen, merdeka dan idealis seperti pers zaman pergerakan nasional.
Pesan Rosihan, janganlah terjun dalam dunia jurnalistik jika ingin mengejar kekayaan. Cari kerja saja di bidang lain katanya. Menurut saya dia bukanlah sekedar memberikan petuah kosong. Dia adalah contoh dari nasehat itu. Jika kita baca biografinya, waktu di zaman Orde Baru, Presiden Soeharto menawarkannya jabatan Duta Besar RI untuk Vietnam. Rosihan menolak dengan alasan ingin konsisten sebagai wartawan yang sudah jadi pilihan hidup.
Lalu bagaimana peran advokat dalam menjaga api semangat jurnalistik pasca seabad Rosihan Anwar ? Advokat bisa ikut serta mendirikan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers dalam menjaga pers (guardian of journalist). Menjaga agar fungsi dan peran wartawan dalam melaksanakan tugas sosial kontrolnya dipayungi oleh Undang undang yakni UU No. 40 tahun 1999 sebagai yang mengatur tentang kebebasan dan kerja pers di Indonesia terlaksana dengan baik.
Apalagi peran pers merupakan amanat reformasi 1998, juga sebagai salah satu wujud hak asasi manusia. Selanjutnya, kerja wartawan telah terikat dan telah di atur dalam Kode Etik Jurnalistik. Peran advokat adalah menjaga kesewenang-wenangan agar setiap karya jurnalistik tidak mudah serta merta dipidakan ataupun diperdata-kan. Artinya, advokat berperan agar mekanisme sengketa pers dilalui sesuai dengan UU Pers jika ada terjadi sengketa terhadap karya pers. Karna ada kekhususan penanganan hukum terhadap pers di Indonesia yang banyak tidak diketahui aparat.
Seharusnya menurut kami, persahabatan insan pers dan pengacara bak ibarat gula dengan kopi. Diberbagai kesempatan, wartawan dengan pengacara memang kerap berkolaborasi. Seperti ibarat gula dan kopi, masing masing bila telah berbaur dalam satu gelas maka akan menghasilkan rasa yang nikmat. Kopi tanpa dicampur gula, maka ia akan terasa pahit begitu juga sebaliknya, gula tanpa diberi kopi tentu yang terasa hanya manisnya saja. Sedangkan pada sisi lain, setiap media cetak dan media online didalam struktur box redaksinya, pasti ada penasehat hukumnya yang tiada lain adalah advokat.
Selain itu advokat bisa terlibat langsung sebagai kontrol sosial, memang advokat dilarang merangkap jabatan menjadi pegawai negeri atau pejabat negara. Tetapi, advokat dapat merangkap jabatan lain seperti kurator dan konsultan hak kekayaan intelektual. Demikian halnya mengenai rangkap jabatan advokat sebagai wartawan, tidak ada peraturan perundang-undangan secara eksplisit yang melarang hal itu, baik di UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik.
Tidak ada peraturan secara eksplisit yang mengatur tentang hal itu, baik di UU Pers maupun di Peraturan Dewan Pers Nomor: 6/Peraturan-DP/V/2008 tentang Pengesahan Surat Keputusan Dewan Pers Nomor 03/SK-DP/III/2006 tentang Kode Etik Jurnalistik sebagai Peraturan Dewan Pers (Kode Etik Jurnalistik).
Berdasar pada tidak adanya peraturan perundang-undangan secara eksplisit yang mengatur tentang larangan rangkap jabatan advokat sebagai wartawan, baik di UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik, maka kami menyimpulkan bahwa seorang advokat tidak dilarang merangkap jabatan sebagai wartawan, demikian pula sebaliknya. Meski demikian, kedua kode etik masing-masing profesi tersebut harus tetap dipatuhi.(*)