Riyan Permana Putra sebut Pengajuan Anggaran Lanjutan untuk Drainase Bukittinggi Harus Melalui Persetujuan DPRD
Bukittinggi – Sebagaimana dilansir dari klikata.co.id, anggaran yang digunakan oleh Pemko Bukittinggi melalui Dinas PUPR dalam melanjutkan proyek drainase primer menuai sorotan serta tanggapan dari Badan Anggaran DPRD Kota Bukittinggi. Perihal sorotan serta berbagai tanggapan ini mencuat ketika pengajuan anggaran dilakukan setelah pengesahan APBD Kota Bukittinggi.
Bahkan Beny Yusrial, Ketua DPRD Kota Bukittinggi dari Fraksi Partai Gerindra. Beny pada Klikata.co.id, Kamis 7 April 2022, mengatakan untuk APBD 2022 sudah selesai peyusunannya oleh DPRD Bukittinggi, dan telah ketok palu. Baru ada anggaran susulan drainase primer seperti ini, dan kami maupun seluruh Anggota Banggar tidak pernah menyepakati. Kalau ada konsesus hukum kemudian hari, kami tidak bertanggung jawab. Tugas kami dalam penyusunan anggaran sudah selesai,” kata Beny.
Martias Wanto Sekda Bukittinggi sebagaimana dilansir dari klikata.co.id mengatakan bahwa dasar anggaran lanjutan drainase primer adalah evaluasi Gubernur Provinsi Sumatera Barat.
“Kita mengambil dari evaluasi yang dilaksanakan oleh Gubernur bahwa harus dituntaskan masalah standar pelayanan kita. Drianse termasuk standar pelayanan minimal yang dilaksanakan oleh Dinas PUPR. Kita mengambil moment itu. Ini hasil berdasarkan paripurna. Regulasinya berdasarkan hasil evaluasi Gubernur. Adapun BPKP menyarakan rasionalisasi anggaran,” kata Martias
Ditempat berbeda warga Bukittinggi yang juga merupakan Ketua Perkumpulan Pengacara dan Konsultan Hukum Indonsesia (PPKHI) Kota Bukittinggi, Riyan Permana Putra menyatakan seharusnya pengajuan anggaran untuk melanjutkan pembangunan drainase di Bukittinggi dengan persetujuan DPRD Bukittinggi.
Dan Riyan juga menambahkan seharusnya dasar anggaran lanjutan drainase primer tidak cukup hanya berdasarkan evaluasi Gubernur Provinsi Sumatera Barat. Seharusnya juga ada persetujuan DPRD Bukittinggi secara menurut ketatanegaraan Pemerintah Daerah Bukittinggi adalah mitra dari DPRD Bukittinggi.
Berdasarkan undang-undang pemerintahan daerah, khususnya mengenai pengelolaan keuangan daerah menyebutkan bahwa APBD ditetapkan bersama antara kepala daerah dengan DPRD karena mereka adalah mitra. Sehingga mulai dari proses pembahasan sampai pada pengambilan keputusan untuk menetapkan APBD maka dalam perjalanan tidak boleh ada pengajuan anggaran lagi.
Kalau pun ada hal-hal mendesak yang mengharuskan terjadinya pengajuan anggaran baru. Maka harus dilakukan mengikuti prosedur sesuai proses awal pembentukan produk APBD tersebut, yaitu harus meminta persetujuan terlebih dahulu kepada DPRD.
Jika sudah mendapatkan persetujuan dari DPRD maka baru boleh melakukan pengajuan anggaran drainase itu baik ke dalam satu pos anggaran maupun yang sejenis atau mungkin hal-hal lain yang sifatnya mendesak.
APBD bukan merupakan produk satu pihak baik eksekutif maupun legislatif tetapi adalah produk bersama dua lembaga penyelenggara pemerintahan itu. Artinya, hal tersebut menjadi kewenangan bersama baik kepala daerah maupun DPRD untuk menetapkan APBD.
Jika kemudian ada pengajuan anggaran, seperti untuk drainase Jalan Perintis Kemerdekaan ini, yang diduga dilakukan sepihak, maka itu bisa masuk dalam dugaan melanggar hukum, dalam hal ini Perda.
Di dalam perda itu, anggaran sudah diketok palu. Lalu ada pengajuan anggaran baru setelah ketok palu. Dan DPRD Bukittinggi, diwakili oleh beberapa anggota DPRD tidak menyetujui. Maka tindakan itu patut diduga akan melanggar hukum, yaitu akan melanggar perda itu sendiri dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (berdasarkan Stufenbow Theory Hans Kelsen) berupa Permendagri tentang pengelolaan keuangan daerah, peraturan pemerintah, maupun undang-undang di bidang pemerintahan daerah.
Riyan juga menyebutkan, UU Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah mengatur tentang tiga fungsi DPRD, yaitu fungsi pembentukan perda, pengawasan dan fungsi anggaran. Fungsi anggaran ini menegaskan bahwa hak anggaran ada pada DPRD.
“Jadi rancangannya dibuat oleh kepala daerah bersama SKPD-nya kemudian mengajukan kepada DPRD, nanti ketok palu terakhir ada di DPRD, dan bentuk hukumnya adalah peraturan daerah,” sebutnya.
Riyan menambahkan, DPRD juga punya hak pengawasan terhadap pelaksanaan keuangan daerah. Karena itu, DPRD bisa meminta penjelasan pemerintah atau mengembalikan anggaran yang diajukan setelah ketok palu.
“Hak anggaran itu ada di DPRD. Semua produk hukum harus ikut prosedur dan ada persetujuan DPRD. Tidak cukup hanya berdasarkan evaluasi Gubernur Provinsi Sumatera Barat. Seharusnya juga ada persetujuan DPRD Bukittinggi secara menurut ketatanegaraan Pemerintah Daerah Bukittinggi adalah mitra dari DPRD Bukittinggi,” tutup Alumni Universitas Indonesia ini.(*)