PPKHI Bukittinggi Inisiasi Penguatan Peran Niniak Mamak di Bukittinggi Melalui Perda
Penulis : Dr (cand). Riyan Permana Putra, S.H., M.H.
[Masyarakat Bukittinggi, Ketua Perkumpulan Pengacara dan Konsultan Hukum Indonesia (PPKHI) Bukittinggi]
Pemerintah Kota Bukittinggi menggelar silaturrahmi dengan Tokoh Adat dari Niniak Mamak Kurai Limo Jorong yang merupakan warga asli daerah setempat untuk memulai pembangunan di 2022 ini. Kegiatan yang dilakukan di Pendopo Rumah Dinas Wali Kota Belakang Balok itu dihadiri beberapa orang Niniak Mamak Pucuak dan Pangka Tuo yang diisi dengan penyampaian rencana pembangunan melalui sembilan strategi terbaru. Pada kesempatan itu, Wako juga memaparkan sejumlah kegiatan pembangunan prioritas yang akan dilaksanakan tahun 2022 ini. Diantaranya pembangunan awning Jalan Minangkabau, penataan Pasar Lereng, pembangunan gerbang budaya dan beberapa rencana pembangunan lainnya.
Sebelumnya, tak hanya Walikota Bukittinggi sekarang, jika kita lihat jejak digital, Ramlan Nurmatias juga pernah mengapreaasi peran niniak mamak, lalu Ir. H. Azwar Anas, mantan Gubernur Sumbar dua periode. Menyatakan ia selalu melibatkan tokoh-tokoh informal dalam membangun agar pembangunan Sumbar ke arah yang lebih baik.
Kita melihat pada tahun 2022 ini adalah momentum untuk menguatkan peran niniak mamak di Ranah Minang. Apalagi sebelumya Presiden wanita pertama Indonesia yang berdarah Minang (ini berdasarkan uraian dari Tokoh Sumatera Barat, Buya Mas’oed Abidin, Ulama yang juga penulis berusia 85 tahun itu, mengungkap Megawati maupun Puan sebetulnya berdarah Minang. Megawati itu anak Fatmawati, itu orang Minang. Siapa bilang dia orang Bengkulu? Dia orang Pesisir Selatan yang merantau ke Bengkulu ujar Buya), Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri itu menilai, Provinsi Sumatera Barat (Sumbar) yang dulu ia kenal telah berbeda di masa sekarang. Sebab, menurut Megawati, ada adat istiadat milik Sumbar yang kini mulai terlupakan atau ditinggalkan, yaitu Ninik Mamak.
Peran niniak mamak sangat penting “basilang kayu di tungku, di sinan nasi mangkonyo masak”. Dengan adanya kolaborasi niniak mamak dan pemimpin Bukittinggi, pembangunan Bukittinggi akan masak. Sebab, niniak mamak diibaratkan “Baringin di tangah Koto”: sasaran alang tabang tinggi, tinggi nan tampak dari jauh, dakek jolong basuo, bapucuak bulek cewang ka langik, baurek tunggang ujam ka bumi, urek dapek baselo, batang bakeh rang basanda, dahan tampek bagantuang , badaun rimbun bisa rang balinduang kapanasan bataduah kahujanan. Pangulu nan gadang basa batuah, pusek jalo pumpunan ikan, pai tampek batanyo, pulang bakeh babarito, duduak jo adaik jo pusako, tagak jo barih jo balabeh, nan mamacik biang tabuak, nan mangganggam gantiang putuih, kabasaran dalam nagari.
Selain itu, amanat penguatan niniak mamak ini, sudah menjadi amanah yang wajib dilaksanakan. Dimulai dari amanat dari Pasal 18B ayat (2) negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
Dan di Sumatera Barat juga sudah diamanatkan Perda Sumatera Barat Nomor 6 Tahun 2014 tentang Penguatan Lembaga Adat. Namun sepertinya dari ungkapan Wakil Walikota Bukittinggi Pasal 32 ayat (1) Perda Sumatera Barat Nomor 6 Tahun 2014 tentang Penguatan Lembaga Adat yang mengamanatkan Ketentuan lebih lanjut mengenai penguatan lembaga adat dan pelestarian nilai budaya Minangkabau diatur dengan Peraturan Daerah kabupaten/kota sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Ini karena Bukittinggi belum memiliki aturan penguatan peran niniak mamak.
Dalam Pasal 4 ayat 1 Perda Sumatera Barat Nomor 6 Tahun 2014 tentang Penguatan Lembaga Adat diungkap kewajiban pemerintah daerah untuk memfasilitasi penyelenggaraan penguatan lembaga adat dan melaksanakan pelestarian nilai budaya Minangkabau. Yang mana kewajiban pemerintah daerah dalam mendorong penyelenggaraan penguatan lembaga adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi fasilitasi, koordinasi dan konsultasi penguatan lembaga adat.
Dengan memperkuat posisi niniak mamak, kita insya allah tidak akan mendengar lagi sebuah program yang sudah berjalan dan terencana baru disosialisasikan kepada niniak mamak. Kita tidak ingin niniak mamak di Kota Bung Hatta hanya menjadi stempel dan pemadam kebakaran. Kita ingin niniak mamak dilibatkan dalam blue print pembangunan kota. Karena jika kita lihat pada Pasal 10 ayat (1) Perda Sumatera Barat Nomor 6 Tahun 2014 tentang Penguatan Lembaga Adat, lembaga adat berperan sebagai mitra pemerintah daerah dalam memberdayakan, mengembangkan dan melestarikan adat istiadat serta nilai budaya Minangkabau dalam kehidupan masyarakat.
Caranya dengan melihat Pasal 11 Perda Sumatera Barat Nomor 6 Tahun 2014 tentang Penguatan Lembaga Adat adalah dengan dengan mengikutsertakan lembaga adat dalam pengambilan kebijakan, merumuskan keputusan yang berkaitan dengan penguatan lembaga adat dan pelestarian nilai budaya Minangkabau, dan melibatkan lembaga adat dalam merencanakan dan mensinergikan program pembangunan agar sesuai dengan tata nilai budaya Minangkabau.
Oleh karena itulah Perkumpulan Pengacara dan Konsultan Hukum Indonesia (PPKHI) Bukittinggi menginisiasi penguatan peran niniak mamak dalam pembangunan Kota Bukittinggi melalui upaya yang nyata, yaitu melalui Perda. Apalagi negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya. Ditambah telah mulai terjadinya penurunan nilai adat dan budaya Minangkabau akibat berbagai pengaruh negatif.
Sebagaimana kita lihat dahulu sejarawan Belanda penulis biografi Tan Malaka, Poeze menyebut dari tujuh Begawan Revolusi Indonesia, tiga diantaranya (42,8 %) adalah orang Minang, yaitu Hatta, Sjahrir, dan Tan Malaka sementara empat lainnya Soekarno, Sudirman, Amir Sjarifuddin, dan A.H. Nasution. Sementara dua di antara triumvirat di puncak piramid The Founding Fathers (Bapak Bangsa) Indonesia yaitu Soekarno, Hatta, Sjahrir juga adalah orang Minang. Bahkan Ketua Dewan Masjid Indonesia (DMI) yang pernah dua kali menjabat Wakil Presiden Indonesia Dr (HC). Drs. H. M. Jusuf Kalla pernah menyebut pada tahun 70-an di Jakarta, apabila tampil sepuluh orang muballigh di kegiatan keagamaan, maka umumnya sembilan orang (90 %) berasal dari Minangkabau. Namun kejayaan masa lalu itu perlahan meredup.
Tokoh-tokoh dari Sumbar, dari Ranah Minang semakin berkurang. Dalam ensiklopedi Indonesia edisi 1986 hanya tinggal 110 dari 1.153 jumlah orang termuka Indonesia yang berasal dari Minangkabau atau 9,7 persen, walaupun masih di atas proporsi jumlah penduduk Minang di Indonesia yang hanya 4 persen. Maka menurut kajian PPKHI Bukittinggi perlu upaya penguatan lembaga adat dan pelestarian nilai budaya Minangkabau. Dan yang paling penting dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah, Pemerintah Daerah mempunyai tugas dan kewajiban mengupayakan pelestarian budaya daerah serta menjamin kepastian hukum terhadap upaya pelestarian nilai budaya daerah.
Meski upaya membangkit nan tarandam terhadap peran niniak mamak di Bukittinggi tidak hanya lewat regulasi, namun bisa juga dengan memberdayakan pengkajian dan penelitian nilai budaya Minangkabau dalam rangka menggali potensi budaya Minangkabau dan melakukan sosialisasi, seminar, lokakarya dan diskusi nilai budaya Minangkabau melalui jalur pendidikan, media massa dan sarana publikasi lainnya, sebagaimana pedoman Pasal 16 ayat (1) Perda Sumatera Barat Nomor 6 Tahun 2014 tentang Penguatan Lembaga Adat. Semua tujuannya untuk menyelamatkan masyarkat menuju kemaslahatan yang menurut al-Ghazali suatu mashlahat dalam masyarakat akan terlaksana jika pemimpin bisa memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta yang diperkuat pula oleh adagium hukum yang menyatakan bahwa salus populi suprema lex esto (Keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi).
Dengan adanya Perda penguatan peran niniak mamak dalam pembangunan Kota Bukittinggi nanti akan jelas hak dan kewajiban hingga anggaran untuk menopang peran niniak mamak dalam pembangunan Bukittinggi, apalagi jika kita lihat Pasal 31 Perda Sumatera Barat Nomor 6 Tahun 2014 tentang Penguatan Lembaga Adat yang mengamanatkan pembiayaan penguatan lembaga adat dan pelestarian nilai budaya Minangkabau bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi, dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota.
Kita PPKHI Bukittinggi, sangat ingin pemerintah daerah Kota Bukittinggi melaksanakan Pasal 32 ayat (1) Perda Sumatera Barat Nomor 6 Tahun 2014 tentang Penguatan Lembaga Adat yang mengamanatkan ketentuan lebih lanjut mengenai penguatan lembaga adat dan pelestarian nilai budaya Minangkabau diatur dengan Peraturan Daerah kabupaten/kota sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Ini hanya salah satu jalan hukum untuk memperkuat dan mengembalikan peran niniak mamak di Kota Bung Hatta dari aturan Ius Constitutum yang tersedia pada aturan yang lebih tinggi, yaitu Perda Sumatera Barat Nomor 6 Tahun 2014 tentang Penguatan Lembaga Adat. Selain itu, untuk memperkuat posisi niniak mamak di Bukittinggi, juga bisa menyisipkan dalam setiap Perda yang akan dibuat di Kota Bukittinggi. Sebagaimana Perda Kota Bukittinggi Nomor 11 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial di sana bisa menjadi contoh regulasi untuk memperkuat peran niniak mamak dengan menyisipkan dalam aturan terkait. Sebagaimana kita lihat pada Pasal 69 ayat (2) Perda Kota Bukittinggi Nomor 11 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial yang menjelaskan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk berperan dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial. Peran sebagaimana dapat dilakukan ninik mamak dan organisasi adat.
Tentu kami PPKHI Bukittinggi berharap untuk Ius Contituendum posisi niniak mamak di Bukittinggi memang sungguh-sungguh dan kuatnya posisi niniak mamak ini tidak terpengaruh terhadap perubahan pemimpin kota, abadi (Indak lakang dek paneh dan indak lapuak dek ujan). PPKHI Bukittinggi akan terus menginisiasi penguatan niniak mamak diberbagai media karena alah bauriah bak sipasin, kok bakiek alah bajajak, habih tahun baganti musim, nan sandi adat jan dianjak. Dan menurut kajian PPKHI Bukittinggi, untuk bisa membangkit kembali kejayaan Minangkabau, nilai-nilai, dukungan struktural, dan penguatan tali tigo sapillin, tigo tungku sajarangan adalah hal yang harus diupayakan. Kuncinya rekonstruksi, refungsionalisasi dan revitalisasi. Apalagi tantangan yang akan dihadapi di era globalisasi, era digitalisasi juga semakin komplek. Dunia telah melangkah masuk pada pasar bebas, internet, big data, artificial intelligence, desruption socio cultural, smart centre humanity, dan bonus demografi. Penguatan peran niniak mamak akan mendorong dan merangsang, atau menjadi force of motivation kemajuan Sumatera Barat di era millenial, era 4.0, society 5.0 untuk menuju welfare city yang diidamkan masyarakat kota seluruh dunia abad ini. Karna para ninik mamak, alim ulama dan bundo kanduang merupakan elemen yang tahu persis persoalan-persoalan yang terjadi di tengah masyarakat dan mereka adalah benteng terakhir ranah minang menghadapi perubahan zaman.(*)