Harapan terhadap Gubernur untuk Melaksanakan Putusan PTUN Padang
Bukittinggi – Harapan terhadap Gubernur untuk Melaksanakan Putusan PTUN Padang
Penulis : Dr (cand). Riyan Permana Putra, S.H., M.H.
[Masyarakat Bukittinggi, Ketua Perkumpulan Pengacara dan Konsultan Hukum (PPKHI) Kota Bukittinggi]
Kita sebagai masyarakat Bukittinggi baru saja mendengar kabar adanya kabar baik bahwa putusan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) Padang memenangkan HS, mantan Ketua DPRD Kota Bung Hatta. Memang jikalau Ketua DPRD diberhentikan tanpa melalui mekanisme sesuai dengan aturan yang berlaku, Pengadilan TUN pasti memenangkan mantan Ketua DPRD yang diberhentikan tanpa melalui proses sesuai aturan yang berlaku tersebut. Namun, muncul persoalan karena lazimnya sudah ada Ketua DPRD yang baru sebagai pengganti yang sudah definitif. Sekalipun putusan TUN memenangkan penggugat, dapat dipastikan sulit mengembalikannya dalam jabatan semula.
Kita melihat apakah putusan sudah inkracht ? Apakah tidak ada banding dari Tergugat, dimana Tergugatnya adalah Gubernur Sumbar. Putusan TUN memerintahkan Tergugat dalam hal ini Gubernur Sumbar untuk mencabut : Surat Keputusan Gubernur Sumatra Barat Nomor 171-730-2021 Tentang Pemberhentian Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Bukittinggi tertanggal 20 September 2021 dan Surat Keputusan Gubernur Sumatra barat Nomor 171-731-2021 Tentang Peresmian Pengangkatan Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Bukittinggi tertanggal 20 September 2021.
Kita tentu berharap Gubernur melaksanakan putusan PTUN tersebut. Karna kalo putusan PTUN tersebut sudah inkracht selanjutnya akan berhadapan dengan efektifitas pelaksanaan putusan PTUN.
Sudah bukan rahasia umum lagi, salah satu tidak efektifnya pelaksanaan putusan PTUN karena kesadaran hukum para pejabat Tata Usaha Negara (TUN). Selain itu, ada juga dugaan pejabat TUN yang enggan melaksanakan putusan PTUN. Ini bisa terlihat dalam jejak digital dari keengganan beberapa pejabat TUN yang tidak mau melaksanakan putusan PTUN, sebagaimana pernah terjadi di Batam, dimana Pemkot Batam pernah tidak mau melaksanakan putusan PTUN walaupun Pemkot maupun pimpinan proyek gedung DPRD telah menerima salinan putusan PTUN yang memerintahkan agar pembangunan gedung DPRD segera dihentikan karena diduga ada mark up sebesar Rp10-12 miliar.
Eksekusi putusan PTUN sampai saat ini masih dipertanyakan. Pasalnya, putusan PTUN sampai saat ini tidak mempunyai kekuatan memaksa terhadap pejabat TUN. Bahkan, berdasarkan kajian yuridis dan akademis selama ini, dalam pelaksanaan putusan TUN, pejabat TUN di mana pun selalu ada yang tidak memiliki kesadaran hukum untuk mentaati putusan PTUN.
Tidak efektifnya putusan PTUN memang sudah terlihat gejala-gejalanya sejak tahun 1991. Tidak efektifnya putusan PTUN karena memang pelaksanaan putusan PTUN tidak memiliki kekuatan memaksa. Pelaksanaannya dikembalikan lagi kepada eksekutif (pemerintah).
Karna adanya masalah yang kompleks dalam eksekusi putusan TUN ini kita akan menyaksikan bahwa wibawa dan kepercayaan publik terhadap peradilan TUN. Kondisi ini diduga akan memperburuk citra peradilan secara umum. Padahal, sudah sejak lama institusi-institusi negara, termasuk pengadilan, belum memperoleh kepercayaan publik sebagaimana yang diharapkan.
Sangat mungkin akibat putusan TUN yang bermasalah dalam eksekusinya justru memunculkan masalah baru. Sudah pasti ada pihak yang dirugikan dalam kondisi tersebut. Pihak yang menang bahkan sampai pada tingkatan upaya hukum terakhir, gagal mendapatkan haknya sekalipun telah dimenangkan dalam berperkara di pengadilan melalui proses panjang dan mahal.
Masalah baru justru memunculkan ketidakpastian hukum baik bagi pihak yang menang ataupun pihak yang kalah. Jika itu menyangkut suatu jabatan, pihak yang kalah mungkin sudah menduduki jabatannya dan biasanya bersikeras tidak ingin melepaskan jabatan tersebut. Sebaliknya, pihak yang dimenangkan dalam putusan TUN seharusnya memperoleh kembali jabatan yang memang haknya. Namun, akibat problem dalam implementasi putusan, kemenangannya hanya di atas kertas. Kondisi ini yang terkadang menimbulkan keributan di lapangan. Kita berharap adanya kebijaksanaan dari Gubernur untuk melaksanakan putusan TUN yang inkracht tersebut, jika tak ada upaya banding. Menurut penulis ini merupakan ujian kebijaksanaan seorang Gubernur sebagai pejabat TUN dalam melaksanakan putusan TUN Padang.
Menghadapi Kesulitan Eksekusi Putusan PTUN Padang
Salah satu alternatifnya jika memang ada kesulitan dalam eksekusi putusan TUN Padang adalah dengan adanya perintah kompensasi terhadap pihak yang menang karena batal menduduki jabatan. Karena dalam Pasal 117 Undang-Undang Nomor 5/1986 tentang PTUN telah mengantisipasi kemungkinan ini. Bahwa jika tergugat tidak dapat melaksanakan putusan pengadilan disebabkan oleh berubahnya keadaan yang terjadi setelah putusan pengadilan dijatuhkan dan/atau memperoleh kekuatan hukum tetap, ia wajib memberitahukan hal itu kepada ketua pengadilan dan penggugat.
Dalam Pasal 117 juga ditentukan bahwa penggugat dapat mengajukan permohonan kepada ketua pengadilan yang telah mengirimkan putusan agar tergugat dibebani kewajiban membayar sejumlah uang atau kompensasi lain yang diinginkannya. Artinya, pihak yang menang yang telah kehilangan jabatannya sepatutnya mendapatkan kompensasi agar putusan PTUN itu ada wibawanya. Langkah lain dengan cara mengumumkan di media massa siapa pejabat yang diduga melecehkan putusan PTUN, ini sebagai sarana kontrol publik.
Pasal 116 UU Nomor 51 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 5/1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara di antaranya menegaskan dua poin penting. Pertama, bagi pejabat yang tidak melaksanakan putusan pengadilan diumumkan pada media massa cetak setempat oleh panitera sejak tidak terpenuhinya kewajiban. Kedua, di samping diumumkan di media massa cetak, ketua pengadilan harus mengajukan hal ini kepada presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintah tertinggi untuk memerintahkan pejabat tersebut melaksanakan putusan pengadilan, dan kepada lembaga perwakilan rakyat untuk menjalankan fungsi pengawasan.
Tentu kita berharap Gubernur dapat melaksanakan setiap butir-butitr putusan TUN Padang ini. Karena sangat jelas dalam Pasal 1 ayat 3 UUD 1945, negara yang menganut supremasi hukum, negara kita adalah negara yang berdasarkan hukum bukan kekuasaan. Kita berharap adanya kebijaksanaan dari Gubernur untuk melaksanakan putusan TUN yang inkracht tersebut, jika tak ada upaya banding. Menurut penulis ini merupakan ujian kebijaksanaan Gubernur dalam melaksanakan putusan TUN Padang.(*)