Solusi Sederhana Polemik Jalan Minangkabau
Penulis : Riyan Permana Putra, S.H., M.H.
[Pengacara Syarikat Pedagang dan Pemilik Toko Jalan Minangkabau, Ketua Perkumpulan Pengacara dan Konsultan Hukum Indonesia (PPKHI) Bukittinggi, Kandidat Doktor UIN Imam Bonjol Padang]
Berawal dari tak adanya tanggapan surat tertanggal 16 Juli 2021 yang dikirim pedagang dan pemilik toko Jalan Minangkabau ke pemimpin kota. Lalu terjadilah aksi pedagang dan pemilik toko Jalan Minangkabau yang menolak kanopi. Mereka juga sempat menyuarakan aspirasi ke DPRD yang ketika itu DPRD mensyaratkan pembangunan kanopi harus ada kesepakatan dengan pedagang Jalan Minangkabau yang terdampak langsung. Di mana hampir 100 % pedagang dan pemilik toko Jalan Minangkabau menolak pembangunan kanopi. Dilanjutkan juga dengan aksi penyampaian aspirasi di depan umum. Rangkaian aksi pedagang Jalan Minangkabau jika kita telisik secara akademik dan yuridis merupakan peristiwa politik karna dalam filsafat politik Claude Lefort (1988), pertanyaan-pertanyaan mengenai politik hanya dapat muncul ketika suatu peristiwa politis memenuhi tiga syarat, yakni mise en sens (diberi makna), mise en scène (dipanggungkan /ditampilkan/dipertontonkan), dan mise en forme (diberi bentuk/definisi).
Peristiwa aksi penolakan pedagang Jalan Minangkabau dapat dibaca sebagai suatu aksi massa (mise en forme) yang memanggungkan (mise en scène) suatu kepentingan konfliktual tertentu dan mengantar makna tertentu (mise en sens). Tak perlu kita menghitung jumlah, aksi tersebut memenuhi tiga syarat itu dan aksi tersebut sah menurut konstitusi. Bahkan telah memenuhi kategori A.J. Toynbee, sejarawan Inggris, dalam bentuk “kelompok kecil yang kreatif.” Bagi Toynbee, kelompok kecil kreatif inilah harus diapreasisi apalagi ketika mereka mampu memberikan kritik dengan cara yang konstitusional.
Perlu kita ingat bersama, demokrasi bukan hanya suara mayoritas. Apalagi demokrasi di Kota Bung Hatta yang mana ia sebagai founding fathers salah satu negara demokrasi terbesar di dunia ini. Demokrasi di kota ini harus bisa memberikan perlindungan kepada siapapun, termasuk kaum yang memiliki aspirasi minoritas. Sehingga, demokrasi kota akan terjamin dan eksistensinya berkesinambungan serta pembangunan kota menuju welfare city.
Untuk urusan gerakan seharusnya tak hanya dilihat dari segi kuantitas karna menurut Margaret Mead, seorang antropolog budaya Amerika, menyebutkan bahwa, “Jangan pernah ragu bahwa sebuah kelompok kecil dari orang yang bijak dan berkomitmen dapat mengubah dunia ini. Malah, itu adalah satu-satunya hal yang dapat mengubah dunia.”
Maka dari itu, bagi pedagang Jalan Minangkabau serta seluruh pedagang Bukittinggi bergeraklah terus dengan cara-cara konstitusional, tak harus besar, walau ada insiden penurunan spanduk. Hak demokrasi pedagang mana pun dijamin negara, seberapa pun besarnya gerakan itu di negara demokrasi tetap akan bermakna dan tetap harus diperjuangkan. Karna Sutan Sjahrir yang orang Koto Gadang yang tak jauh dari Guguak Randah, Guguak Tinggi, dan Rambuti, Kabupaten Agam itu pernah berpesan, “Hidup yang tidak dipertaruhkan, tidak akan pernah dimenangkan”.
Bahkan Sutan Sjahrir, Perdana Mentri Pertama RI, Pendiri Partai Sosialis Indonesia pun menguatkan kita agar terus berjuang memperjuangkan hak kita walau jumlah kita sedikit. Ia berkata dalam tulisannya, partai itu tidak perlu banyak anggota, sedikit saja jumlahnya, asal paham, militan, menguasai keadaan, serta memahami teori-teori perjuangan sebutnya.
Perbedaan pandangan tentang ada atau tidaknya kanopi di Jalan Minangkabau bermuara kepada suatu keadilan yang ditentukan oleh hukum dalam negara kita. Keadilan itu sendiri merupakan suatu konsensus etis, artinya terikat oleh prinsip-prinsip moral masyarakat yang bersangkutan. Dalam negara demokrasi Indonesia, prinsip-prinsip keadilan tersebut dijabarkan dalam konsep normatif dasar “bukan atas dasar aksi saya paling banyak orang yang hadir dan bukan juga berdasar pada dominasi mayoritas ataupun tirani minoritas”. Kota yang pernah menjadi ibukota Republik ini berada dalam negara kesatuan yang dalam konstitusinya, yaitu dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 disebutkan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum,” maka dari itu di kota ini bukan kekuasaan, tapi hukum harus menjadi panglima.
Sebagaimana jelas diutarakan dalam normatif yuridis, oleh karena itu pembangunan kanopi di Jalan Minangkabau haruslah sesuai dengan keadilan hukum. Berbagai aturan yang terkait, seperti: Pasal 12 ayat 1 UU Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan, Pasal 63 ayat (1) UU Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan, Pasal 28 ayat 1 UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Pasal 274 ayat 1 UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Pasal 24 ayat (1) UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja terkait Amdal, Pasal 24 ayat (4) UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja terkait Amdal, Pasal 25 UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja terkait Amdal, dan Pasal 26 ayat (1) UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja terkait Amdal). Sebab perbedaan pandangan tentang ada atau tidaknya kanopi di Jalan Minangkabau bermuara kepada suatu keadilan yang ditentukan oleh hukum dalam negara kita.
Apalagi para pendiri bangsa merancang dasar negara dan konstitusi kita untuk melampaui perbedaan-perbedaan ini dan melakukan rekayasa sosial yang sedemikian rupa untuk menghindarkan konflik. Rekayasa sosial ini ditumbuhkan dalam demokrasi Pancasila, yang merupakan sistem demokrasi yang tidak memihak suara terbanyak, melainkan mengedepankan konsensus (musyawarah untuk mufakat) untuk mencapai kebaikan bersama (keadilan sosial). Apalagi dulu sebelum terpilih pemimpin Bukittinggi pernah berjanji akan musyawarah dalam bekerja, maka terapkanlah itu segera. Itulah solusi sederhana polemik Jalan Minangkabau yang sampai sekarang sepertinya belum ada aksi nyata.
Kami berharap janji musyawarah dalam bekerja itu ditunaikan, apalagi Al quran mengingatkan sumpah atau janji yang haruslah ditepati. Al quran banyak mendorong perbuatan menunaikan janji di antaranya dalam surah al-Baqarah ayat 27, 40, 100, 177, Surah Ali-‘Imran ayat 76, dan 77, surah al-Ma΄idah ayat 7, surah al-An‘am ayat 152, Surah arRa‘d ayat 25, surah an-Nahl ayat 1, dan 95, surah al-Isra ayat 34, surah al-Mu΄minun ayat 8, surah al-Ma‘arij ayat 32.
Namun ayat yang secara spesifik menyatakan bahwa janji harus ditunaikan, terdapat dalam Surah An-Nahl ayat 91, yang berbunyi, “Dan tepatilah janji dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu melanggar sumpah setelah diikrarkan, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah itu). Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.”
Jadi, perjanjian pemimpin Bukittinggi terpilih kepada rakyat kota yang telah menjadi janji, yang mana juga merupakan perjanjian suci pemimpin kota dengan Allah Subhanahu Wa Ta‘ala. Janji sangat dijunjung tinggi dalam Islam, dan janji merupakan sesuatu yang luhur wajib ditunaikan kepada masyarakat kota. Tak hanya untuk pemimpin Bukittinggi, janji juga harus diwujudkan juga oleh orang-orang yang berkecimpung diberbagai profesi seperti pada jabatan eksekutif, legislatif dan Yudikatif (Walikota, Wakil Walikota, Kepala Dinas, DPRD, hakim, jaksa, pejabat, pengacara, pegawai negeri dan dokter, dll) yang memiliki sumpah atau janji jabatan.(*)