Pembuktian Janji Musyawarah dalam Bekerja di Jalan Minangkabau
Penulis : Riyan Permana Putra, S.H., M.H. (Pengacara Syarikat Pedagang dan Pemilik Toko Jalan Minangkabau)
Sebagaimana dilansir dari katasumbar.com, para pedagang memasang spanduk berisi penolakan terhadap wacana pemasangan kanopi di Jalan Minangkabau Bukittinggi, Sabtu 22 Januari 2022. Para pedagang membentangkan spanduk yang bertuliskan ” Wali Kota dengarkan kami! Batalkan Kanopi/Awning, & Night Market di Jalan Minangkabau. Ini menzalimi kami, wargamu!”
M.Fadhli dari Serikat Pedagang dan Pemilik Toko Jalan Minangkabau berharap wacana ini bisa dibatalkan dan Wali Kota Bukittinggi mau mendengar keluhan dari pedagang langsung. Karena ada sekitar 89 pedagang atau toko di lokasi tersebut, dalam jajak pendapat pada Juni 2021 lalu, 94,38 persen menolak, abstain 5,5 persen dan yang setuju hanya 0,5 persen saja.
Dalam kejadian Jalan Minangkabau, kita bisa melihat bagaimana pemimpin Bukittinggi menyikapi kedaulatan rakyat, daulat untuk bermusyawarah dalam bekerja sebagaimana visi misi yang pernah mereka ucapkan, sekarang pembuktian ucapan musyawarah dalam bekerja menemukan ruangnya di Jalan Minangkabau. Jika kita telisik, kedaulatan rakyat yang telah diwakilkan kepada lembaga negara (baik itu eksekutif dan legislatif) seharusnya dilaksanakan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku (khusus untuk rencana pembangunan kanopi di Jalan Minangkabau haruslah sesuai dengan berbagai aturan yang terkait, seperti: Pasal 12 ayat 1 UU Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan, Pasal 63 ayat (1) UU Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan, Pasal 28 ayat 1 UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Pasal 274 ayat 1 UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Pasal 24 ayat (1) UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja terkait Amdal, Pasal 24 ayat (4) UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja terkait Amdal, Pasal 25 UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja terkait Amdal, dan Pasal 26 ayat (1) UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja terkait Amdal). Sebab kedaulatan rakyat harus sesuai dengan keinginan/kehendak rakyat , yang bertujuan untuk mensejahterakan rakyat (from the people, of the people, for the people).
Sah-sah saja pedagang jalan Minangkabau melakukan aksi, karena dijamin Kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum. Karena itu termasuk dalam hak asasi manusia yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945 dan Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia. Kemerdekaan setiap warga negara untuk menyampaikan pendapat di muka umum merupakan perwujudan demokrasi dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Untuk membangun negara demokrasi yang menyelenggarakan keadilan sosial dan menjamin hak asasi manusia diperlukan adanya suasana yang aman, tertib dan damai. Hak menyampaikan pendapat di muka umum secara bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bahkan dalam Pasal 28I ayat (4) UUD 1945 dijelaskan kewajiban negara untuk melindungi, memajukan, menegakkan, dan memenuhi hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi tersebut, sebagai salah satu bagian dari hak asasi manusia.
Terkait pembangunan kanopi di Jalan Minangkabau, jangan sampai pemerintah yang memperoleh kedaulatan rakyat beranggapan berbagai rencana pembangunanbisa dijalankan tanpa sosialisasi dan tanpa meminta persetujuan warga di mana lokasi pembangunan berada, diperparah dengan anggapan bahwa membangun adalah hak pemerintah, sepanjang aturan hukum dan syarat administrasi dipenuhi, tak penting ada persetujuan warga atau tidak. Tentu saja anggapan seperti ini di kota Bung Hatta harus kita urungkan karena menyalahi prinsip kedaulatan rakyat, azas-azas pemerintahan yang baik (good governance) dan janji kampanye musyawarah dalam bekerja.
Sebenarnya jika kita simak beberapa permasalahan, harus ada penyikapan amanat kedaulatan rakyat kepada pemimpin Bukittinggi yang harus disikapi sesuai dengan aturan yang berlaku. Sebagaimana penjelasan dalam Pasal 12 ayat 1 UU Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan, setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan terganggunya fungsi jalan di dalam ruang manfaat jalan.
Bahkan ada ancaman pidana dijelaskan dalam Pasal 63 ayat (1) UU Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan, yang menyatakan setiap orang yang dengan sengaja melakukan kegiatan yang mengakibatkan terganggunya fungsi jalan di dalam ruang manfaat jalan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 18 (delapan belas) bulan atau denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).
Diperkuat pula dengan Pasal 28 ayat 1 UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang menjelaskan pula setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan kerusakan dan/atau gangguan fungsi Jalan. Dengan ancaman pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah) sebagaimana keterangan dalam Pasal 274 ayat 1 UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Belum lagi jika kita telisik dari Analisis Dampak Lingkungan (Amdal). Amdal adalah kajian mengenai dampak penting pada lingkungan hidup dari suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan, untuk digunakan sebagai prasyarat pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan kegiatan.
Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 24 ayat (1) UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja terkait Amdal, dokumen Amdal merupakan dasar uji kelayakan lingkungan hidup untuk rencana usaha dan/atau kegiatan. Pasal 24 ayat (4) UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja terkait Amdal mewajibkan pemerintah Daerah menetapkan Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup berdasarkan hasil uji kelayakan lingkungan hidup. Amdal penting karena dalam Pasal 25 UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja terkait Amdal dijelaskan Amdal memuat pengkajian mengenai dampak rencana usaha dan/atau kegiatan; b. evaluasi kegiatan di sekitar lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan; c. saran masukan serta tanggapan masyarakat terkena dampak langsung yang relevan terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan.
Pada akhirnya kita harus menyadari bersama, negara kita, kota kita adalah negara dan kota yang menganut kedaulatan rakyat. Kedaulatan rakyat atau demokrasi inilah yang menjadi dasar pemikiran para pendiri negara Indonesia dahulu. Bahwa demokrasi Indonesia adalah berbeda dengan demokrasi negara-negara barat, karena demokrasi Indonesia berdasarkan pada permusyawaratan yang mendatangkan kesejahteraan sosial. Dan rakyat mempunyai hak untuk menentukan nasibnya sendiri, dalam arti seluas-luasnya, terutama dalam menyusun pemerintahan sendiri dan mengatur ekonominya sendiri, untuk mensejahterakan dirinya sendiri, seharusnya eksekutif mengedepankan musyawarah dalam bekerja.
Apalagi dipertegas tentang kedaulatan rakyat dalam pembangunan ini dalam Pasal 26 ayat (1) dan ayat (2) UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja terkait Amdal yang menerangkan keharusan melibatkan masyarakat dalam pembangunan. Di sana dijelaskan dokumen amdal disusun oleh pemrakarsa dengan meiibatkan masyarakat. Penyusunan dokumen Amdal dilakukan dengan melibatkan masyarakat yang terkena dampak langsung terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan.(*)