Korupsi Epicentrum Utama Penyebab Lambatnya Pembangunan Tol Padang – Pekanbaru

Oleh : Dr (cand). Riyan Permana Putra, S.H., M.H. [Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bukittinggi]

“Kurang cerdas dapat diperbaiki dengan belajar. Kurang cakap dapat dihilangkan dengan pengalaman. Namun tidak jujur itu sulit diperbaiki,” demikian ungkap Moh. Hatta.

Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat (Kejati Sumbar) pada Jumat, (29/10/2021) menetapkan 13 tersangka dugaan korupsi pembayaran ganti rugi lahan tol Padang-Pekanbaru ruas Padang-Sicincin. Dari 13 yang ditetapkan, 6 tersangka merupakan aparatur pemerintahan. Sedikit demi sedikit epicentrum utama penyebab lambatnya terwujudnya Tol Padang – Pekanbaru, yaitu korupsi.

Para tersangka diduga telah mengorupsi uang ganti rugi lahan terdampak pembangunan tol di taman Keanekaragaman Hayati (KEHATI) di Paritmalintang, Kabupaten Padangpariaman yang berstatus aset daerah. Kerugian akibat kasus ini diperkirakan mencapai 28 miliar rupiah.

Sebelumnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tahun lalu mengejutkan Ranah Minang dengan menetapkan salah satu kepala daerah di daerah itu sebagai tersangka korupsi. Wali Kota Solok Selatan dijadikan tersangka dalam kasus korupsi  proyek Jembatan dan pembangunan Masjid Solok. Dimana anggaran untuk pembangunan Masjid sebesar Rp 55 miliar dan untuk jembatan sebesar Rp 14,8 miliar. Langkah KPK yang mulai bergerak memangkas korupsi di daerah patut diapresiasi, mengingat korupsi di daerah tumbuh subur sejak otonomi daerah diimplementasikan tahun 2004.

Korupsi Mengkhianati Cita-Cita Reformasi

Salah satu cita-cita reformasi adalah menciptakan birokrasi dan sistem pemerintahan yang bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Cita-cita itu sudah berjalan hampir 13 tahun sejak reformasi bergulir. Namun bila dievaluasi, tampaknya cita-cita reformasi birokrasi dan penciptaan pemerintahan yang bersih dari KKN mengalami kegagalan. Terbukti, banyak kepala daerah terlibat kasus korupsi.

Reformasi yang semestinya bisa menekan kecenderungan korupsi yang pernah dilakukan pemerintahan Orde Baru  ternyata bukan mengurangi, justru menumbuhsuburkan dan menyebarluaskan korupsi. Jika dulu para  bupati, apalagi camat, sulit korupsi, kini sampai kepala desa pun banyak yang dipenjara karena korupsi. Jadi reformasi ini telah berhasil memeratakan korupsi di semua level yang memiliki wewenang.

Dari catatan KPK sejak 2004 hingga 2019, Terdapat 124 Kepala Daerah Terjerat Korupsi tersandung kasus korupsi APBD. Korupsi tersebut sejalan dengan besarnya kewenangan dan kekuasaan kelola anggaran oleh daerah. Bukan hanya kepala daerah, pejabat birokrasi sekelas eselon II yang memimpin Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) ataupun anggota DPRD juga banyak yang terlibat korupsi berjamaah.

Dalam berbagai literatur tentang korupsi kepala daerah yang massif, selalu disimpulkan korupsi kepala daerah terjadi karena mahalnya ongkos demokrasi lokal. Untuk menjadi kepala daerah harus maju lewat pencalonan partai politik yang membutuhkan mahar sangat besar. Demikian pula dalam prosesi kompetisi pilkada membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Rata-rata calon kepala daerah membutuhkan biaya minimal Rp 10 miliar untuk bisa melenggang menjadi kontestan dalam pilkada. Tentu saja jika menang dalam pilkada yang dipikirkan adalah mencari imbal balik dengan melakukan korupsi APBD. Pada Bulan Desember 2019 lalu, Riza Falepi calon gubernur Sumatera Barat dari Partai Keadilan Sejahtera mengungkapkan kepada media nasional bahwa jika mau bertarung di Pilkada Sumatera Barat, dibutuhkan “isi tas” minimal Rp 30 Miliar.

Hasil penelitian dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) tahun 2016 menyebutkan penyebab Kepala Daerah melakukan korupsi, yaitu monopoli kekuasaan, diskresi kebijakan, lemahnya akuntabilitas, biaya pemilukada langsung yang mahal, kurangnya kompetensi dalam pengelolaan keuangan daerah, kurang pahamnya peraturan, dan terakhir pemahaman terhadap konsep budaya yang salah. Dan menurut laporan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) politik uang masih kerap terjadi pada penyelenggaraan pilkada. Saat kampanye, terjadi politik uang di 21 kabupaten pada 10 provinsi. Saat masa tenang, sebanyak 311 kasus money politik di 25 Kab/kota pada 16 Provinsi. Saat pemilihan, terjadi 90 kasus money politik  di 22 Kabupaten pada 12 provinsi.

Epicentrum Korupsi di Daerah

Adnan Topan Husodo menjelaskan maraknya kasus korupsi di daerah yang dominan pelakunya adalah anggota DPRD dan kepala daerah selama ini merupakan cermin buruknya kualitas politikus kita. Hal itu tidak dapat dilepaskan dari model dan sistem rekrutmen politik yang kental dengan aroma uang. Dalam korupsi elektoral dikenal empat bentuk korupsi, yakni pembelian kandidat (candidacy buying) atau pembelian kursi (seat buying), pembelian pengaruh, pembelian administrasi elektoral (administrative electoral buying), dan pembelian suara (vote buying).

Keempat bentuk korupsi elektoral itulah yang menyeret para politikus masuk dalam siklus korupsi politik. Investasi politik yang sangat mahal untuk menjadi calon atau kandidat pejabat publik mendorong terjadinya penyalahgunaan kekuasaan pada saat mereka berkuasa. Hal pertama yang dipikirkan setelah mereka menjabat dalam situasi ketika proses politik itu dipenuhi dengan praktek suap adalah bagaimana mengembalikan dengan cepat modal yang telah dikeluarkan. Tak mengherankan bila kemudian korupsi yang melibatkan DPRD dan kepala daerah terjadi di hampir seluruh wilayah Indonesia.

Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, seorang calon kepala daerah harus lewat partai politik. Artinya, calon harus diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Setelah UU tersebut diubah, seorang calon tidak hanya boleh maju lewat partai politik. Bisa juga lewat jalur independen (perseorangan). Tetapi, syaratnya, harus mampu mengumpulkan dukungan 3-6 persen jumlah penduduk di daerah yang bersangkutan.

Nah, mendapatkan rekomendasi pencalonan dari partai politik atau mendapatkan dukungan dengan KTP bagi calon independen tidak gratis. Harga rekomendasi partai bisa miliaran rupiah. “Biaya fotokopi KTP” sebagai bukti dukungan untuk calon independen bisa ratusan juta rupiah.

Setelah resmi menjadi calon lewat partai ataupun jalur independen- dia harus siap mengeluarkan dana besar lagi agar terpilih. Dia harus menjadi dermawan dadakan. Dia harus rajin datang ke kelompok-kelompok calon pemilih. Jika datang ke suatu tempat, dia harus membawa oleh-oleh. Atau, ketika pulang, calon harus ninggali sesuatu di tempat tersebut.

Praktik korupsi kepala daerah sendiri sudah lama terindikasi dengan banyaknya kepala daerah yang memiliki rekening gendut. Bahkan Pusat Pelaporan Analisis Transaksi dan Keuangan (PPATK) mengungkap praktik tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang dilakukan kepala daerah. Pejabat tersebut diduga menyimpan uang Rp 50 miliar ke rekening kasino (perjudian) luar negeri. Temuan tersebut diungkapkan Ketua PPATK, Kiagus Ahmad Badaruddin, dalam refleksi PPATK selama periode 2019. Kiagus sengaja membeberkannya ke publik untuk memberikan efek jera.

Upaya Menghentikan Korupsi sebagai Epicentrum Utama Penyebab Lambatnya Pembangunan Tol Padang – Pekanbaru

Untuk menghentikan korupsi sebagai epicentrum utama lambatnya terwujudnya Tol Padang – Pekanbaru langkah pertama yang harus segera dilakukan untuk menghentikan korupsi di Ranah Minang ini adalah dengan membangkitkan rasionalitas pemilih ditandai dengan semakin kritisnya mereka dalam menentukan siapa kandidat yang layak untuk menjadi pemimpin. Pilihan-pilihan itu terkait dengan penilaian visi dan misi, integritas kandidat, kualitas individu dan programnya, bukan pilihan-pilihan karena satu agama, satu suku, satu keluarga, dan satu kelompok. Melalui kesadaran pemilih, sedikit demi sedikit, para politikus korup yang selama ini memanfaatkan ikatan emosional masyarakat akan tergusur dari arena politik. Meskipun jabatan pengganti kepala daerah di Sumatera Barat yang ikut pilkada di 2020 ini hanya 3 tahun dan 9 bulan saja. Karena pada Pasal 201 ayat 7 UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, telah diatur Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali kota hasil pemilihan 2020 akan berakhir masa jabatannya di tahun 2024.

Artidjo Alkostar, dalam tulisannya yang mengutip pendapat Jamil, mengatakan keruntuhan bangsa besar romawi ditandai oleh ketidakmampuan mengendalikan nafsu. Para pejabat negara lebih mengutamakan interes dan kepentingan pribadi. Hukum tidak lagi dihargai sebagaimana mestinya. Hal yang sama terjadi di dunia Islam. Sebelum jatuhnya Kota Baghdad yang pernah menjadi peradaban dunia ke tangan Bangsa Tartar para petinggi Abbasiyah mengutamakan kepentingan pribadi, keluarga, dan golongan dari pada kepentingan bangsa dan negara. Mereka suka bermewah-mewah menurutkan hawa nafsu. Hal yang sama juga akan terjadi di Ranah Minang jika korupsi di Ranah Minang tidak segera dihentikan. Karakter korupsi yang dimiliki pemimpin ranah ini, jika tak segera dihentikan, maka dapat dipastikan bahwa ranah akan terus berada level terbawahnya dalam mewujudkan Ranah Minang yang sejahtera dan madani.

Kedua, mendesain dan menata ulang pelayanan publik di daerah, terutama pada bidang-bidang yang berhubungan langsung dengan kegiatan pelayanan kepada masyarakat sehari-hari. Tujuannya adalah untuk memudahkan masyarakat luas mendapatkan pelayanan publik yang profesional, berkualitas, tepat waktu dan tanpa dibebani biaya ekstra/ pungutan liar; Ketiga, memperkuat transparansi,  pengawasan dan sanksi, pada kegiatan-kegiatan pemerintah daerah yang berhubungan dengan ekonomi dan sumber daya manusia. Tujuannya adalah untuk meningkatkan akuntabilitas Pemerintah dalam pengelolaan sumber daya negara dan sumber daya manusia serta memberikan akses terhadap informasi dan berbagai hal yang lebih memberikan kesempatan masyarakat luas untuk berpartisipasi di bidang ekonomi;

Keempat, memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi, yaitu berupa e-goverment dan e-procurement, sebagai bagian dari upaya untuk memberantas tindak pidana korupsi di Ranah Minang; dan Kelima, meningkatkan pemberdayaan perangkat pendukung dalam pencegahan korupsi. Tujuannya adalah untuk menegakan prinsip “rule of law,” memperkuat budaya hukum dan memberdayakan masyarakat agar bersatu dalam proses pemberantasan korupsi, apalagi peran serta masyarakat dalam pemberantasan korupsi diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2000.(*)

 

Bagikan:
Hubungi Pengacara