Riyan sebut Belajar dari Bukittinggi, Penyelesaian Konflik Agraria adalah Pekerjaan Rumah Panglima TNI yang Baru
Bukittinggi – Belajar dari kasus sengketa tanah masyarakat adat dengan TNI salah satunya di Bukittinggi, Sumatera Barat dengan TNI di mana masyarakat adat mendatangi kantor pengadilan negeri Bukittinggi untuk mengajukan gugatan secara resmi permasalahan sengketa kepemilikan tanah dengan TNI.
Gugatan tersebut guna mendapatkan kepastian hukum terhadap status tanah yang ditempati masyarakat.
“Masyarakat adat berjalan kaki ke pengadilan negeri Bukittinggi untuk mengajukan upaya hukum mempertahankan tanah adat,” ujar Presenter Metro TV, Sumi dalam program Metro Siang, Jumat, 15 Oktober 2021.
Tentang Pembentukan Tim Pencari Fakta Sengketa Tanah Campago Guguk Bulek
Dengan telah adanya gugatan oleh masyarakat adat di Bukittinggi ini, ketika ditanya tentang desas desus pentingnya tim pencari fakta sengketa tanah Campago Guguk Bulek, Kota Bukittinggi yang diduga sempat menjadi janji kampanye salah seorang calon walikota yang lalu.
Dr (cand). Riyan Permana Putra, S.H., M.H. yang juga merupakan alumni Universitas Indonesia serta Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bukittinggi ini mengungkapkan saat ini karena kedua belah pihak tidak dapat menyelesaikan sendiri selaiknya jika memang ada janji untuk membentuk tim pencari fakta sengketa tanah Campago Guguk Bulek ini harusnya kemarin sebelum ada gugatan ke Pengadilan Negeri Bukittinggi telah terlebih dahulu dibentuk oleh calon walikota itu karena itu adalah janji kampanye. Dengan adanya tim pencari fakta yang independen atau tim mediasi dengan melibatkan praktisi hukum dan ahli pertanahan. Tim bisa saja dibuat dengan komposisi ada dari akademis, praktisi dan ahli pertanahan dari Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Namun dengan telah majunya kasus ini ke Pengadilan Negeri dengan prinsip win and lose, Riyan menyebut pembentukan tim pencari fakta Kasus Tanah sudah terlambat karena Tim Pencari Fakta yang terdiri tim ahli ini bukan merupakan lembaga arbitrase yang bisa mengambil keputusan bersifat final dan mengikat, yakni keberadaan tim mediasi ini tidak punya kewenangan untuk memutuskan pihak mana yang memiliki hak atas tanah sengketa tersebut. Tim ahli ini hanya memetakan permasalahan yang muncul mengenai klaim itu benar atau tidak dan mengambil kesimpulan verifikasi bukti surat dengan prinsip win-win solution.
“Jadi jika pun terbentuk tim pencari fakta atau tim mediasi ini hanya akan menyuruh kedua belah pihak baik dari masyarakat adat dan TNI untuk segera mengumpulkan bukti-bukti otentik berupa surat yang dimiliki karena Tim Pencari Fakta yang terdiri tim ahli ini bukan merupakan lembaga arbitrase yang bisa mengambil keputusan bersifat final dan mengikat, yakni keberadaan tim mediasi ini tidak punya kewenangan untuk memutuskan pihak mana yang memiliki hak atas tanah sengketa tersebut. Tim ahli ini hanya memetakan permasalahan yang muncul mengenai klaim itu benar atau tidak dan mengambil kesimpulan verifikasi bukti surat dengan prinsip win-win solution,” ungkap Riyan di Bukittinggi pada Sabtu, (16/10/2021).
Konflik Agraria adalah Pekerjaan Rumah Panglima TNI yang Baru
Memutus mata rantai pelanggaran HAM bakal menjadi pekerjaan rumah bagi Panglima TNI yang baru. Berbagai masalah itu tak kunjung tuntas saat Yudo Margono dan Andika Perkasa menjabat Kepala Staf.
Ketua Perkumpulan Pengacara dan Konsultan Hukum Indonesia (PPKHI) Kota Bukittinggi, Dr (cand). Riyan Permana Putra, S.H., M.H., mengatakan rekam jejak yang bagus dan pernah menjabat sebagai kepala staf tidaklah cukup sebagai syarat menjadi Panglima TNI. Menurut Riyan, pimpinan militer di era modern juga harus memiliki pemahaman terhadap HAM. Siapa pun Panglima TNI yang terpilih nantinya, kata Riyan, harus juga memiliki visi dan misi untuk menempatkan HAM sebagai bagian tak terpisahkan dari berbagai keputusan di tubuh militer.
“Belajar dari beberapa konflik agraria antara masyarakat dan TNI termasuk di Bukittinggi, ini menunjukkan pekerjaan rumah Panglima TNI yang baru adalah menyelesaikan sengketa tanah. Dan rekam jejak yang harus juga dilihat (dari calon Panglima TNI) adalah bagaimana mereka menyelesaikan kasus-kasus yang bersinggungan dengan hak asasi manusia termasuk dengan masalah hak pertanahan,” ujar Riyan.
Pernyataan Riyan ini selaras dengan laporan KontraS, yang menyebut masih banyaknya kasus kekerasan oleh militer di Indonesia. Umumnya kasus kekerasan itu terjadi lantaran konflik agraria antara proletariat dan pemilik modal ataupun masyarakat dengan TNI itu sendiri.
Dua dekade setelah reformasi, kekerasan militer terhadap masyarakat sipil rupanya masih sering terjadi. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) dalam laporan yang diterbitkan pada September lalu mencatat, selama 2018-2021, masih ada setidaknya 277 kasus kekerasan TNI terhadap masyarakat.
Dua nama calon Panglima TNI yang baru pun tidak lepas dari persinggungan masalah HAM tersebut.
“Adapun tindakan terbanyak adalah penganiayaan, sebanyak 151 kasus, diikuti oleh intimidasi dengan 57 kasus,” tulis Koordinator KontraS Fatia Maulidiyanti pada 21 September 2021.
Menurut data dari detik.com untuk matra Angkatan Laut, masih ada tiga kasus konflik lahan antara TNI dan masyarakat yang belum selesai di era kepemimpinan Yudo Margono. Konflik ini terjadi di wilayah Pasuruan, Maluku, dan Minahasa.
Di Pasuruan, konflik lahan terjadi sejak 1960-an. TNI AL mengklaim memiliki tanah seluas 3.569 hektare yang mencakup wilayah 11 desa di tiga kecamatan, yakni Nguling, Grati, dan Lekok.
Bukan hanya di TNI AL, sejumlah permasalahan agraria di tubuh militer juga banyak terjadi di TNI AD. Dari banyaknya konflik lahan antara TNI AD dan masyarakat, ada sedikitnya tiga kasus yang belum selesai hingga era kepemimpinan Andika Perkasa. Konflik-konflik itu terjadi di wilayah Kebumen, Salatiga, dan Aceh.(*)