Tidak Demokratis adalah Bibit Lahirnya Pemimpin Baru di Bukittinggi pada 2024

Oleh : Dr (cand). Riyan Permana Putra, S.H., M.H.

[Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bukittinggi dan Ketua Perkumpulan Pengacara dan Konsultan Hukum Indonesia (PPKHI) Kota Bukittinggi]

Persepsi publik periode 24-30 September 2020 oleh lembaga survei Indikator Politik Indonesia, menunjukkan demokrasi memburuk. Sebanyak 1.200 responden ditanya tentang kondisi demokrasi di Indonesia. Ada 36 persen menyebut Indonesia saat ini menjadi kurang demokratis. Proporsi yang mengatakan Indonesia tidak demokratis lebih besar ketimbang yang mengatakan Indonesia menjadi lebih demokratis.

Padahal Sejak Amandemen II UUD 1945, negara kita adalah negara hukum dan sekaligus juga mengakui bahwa yang berkuasa adalah rakyat (demokrasi). Hal ini dapat dibaca dalam Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi “Kedaulatan di tangan rakyat dan dilakukan menurut UUD” dan “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Berdasar pasal tersebut, maka jelas Negara Indonesia adalah negara hukum yang mengakui bahwa rakyat yang berkuasa. Jadi, Indonesia adalah negara hukum yang demokratis, bukan negara hukum yang otoriter.

Lalu bagaimana demokrasi di Bukittinggi yang merupakan Kota Bung Hatta apakah dia baik-baik saja? Untuk yang peduli mari kita lihat demokrasi di Kota Bung Hatta yang merupakan sosok Proklamator dan sekaligus pelaku Demokrasi di Indonesia. Kita melihat tahun lalu ada gejolak demokrasi di partai putih sebelumnya pada Jumat 24 Juli 2020, ES mendapat mandat dari DPP Partai Putih berupa SK sebagai Ketua DPC  dan rekomendasi sebagai Calon Wali Kota. KlikPositif.com pada Senin, 03 Agustus 2020 pada pukul 07:30 WIB mencatat keputusan ini menimbulkan gejolak terutama di tingkat pengurus maupun kader karena mereka merasa tidak dilibatkan. Informasinya lebih dari 130an kader yang telah mengembalikan KTA-nya.

Kedua coba kita lihat gejolak demokrasi partai kuning sebagaimana yang pernah diberitakan oleh katasumbar.com  pada Senin, 12 Juli 2021 saat pukul 11:15 WIB, di mana partai kuning diduga berada diambang perpecahan setelah muncul penolakan atas terpilihnya DC yang merupakan adik ES sebagai sebagai Ketua lewat Musda DPD Partai Kuning. Penyebabnya, Kader Partai Kuning sebelumnya sudah menggelar Musda ke X pada April silam, dengan menetapkan KK sebagai Ketua. Penolakan langsung datang dari KK beserta kader yang lain, ia menilai pelantikan DC menyalahi AD/ART dari Partai.

Dari kejadian nomor satu dan dua jika kita sandingkan dengan Undang Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan UU No 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik ini jelas bertentangan karna aturan menegaskan bahwa parpol merupakan sarana partisipasi politik masyarakat dalam mengembangkan kehidupan demokrasi. Rezim pengaturan parpol kita tersebut jelas mengharuskan parpol mengembangkan demokrasi. Secara eksplisit dalam Pasal 13 ayat d, UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik menegaskan bahwa parpol berkewajiban menjunjung tinggi supremasi hukum, demokrasi dan hak azasi manusia.

Ketiga ada penggosongan sebuah pasar tanpa yang diduga tanpa ada aksi demokrasi (musyawarah) sebagaimana diungkap oleh portal berita online Antara pada Senin, 5 Juli 2021 dipukul 14:07 WIB memberitakan ratusan pedagang Pasar B di Kota Bung Hatta mendatangi kantor DPRD untuk menyatakan keberatan dengan rencana penertiban kawasan pasar tersebut oleh Pemkot di saat pandemi. Ini memiriskan apalagi Bung Hatta mengatakan demokrasi asli Indonesia adalah musyawarah diperkuat pula dengan seruan Komnas Hak Asasi Manusia (HAM) yang telah menyerukan pemerintah tak lakukan penggusuran saat pandemi, sebagaimana dilansir dari voaindonesia.com, Komisioner Komnas HAM, Muhammad Khoirul Anam mengatakan, telah menyerukan kepada pemerintah agar tidak melakukan tindakan yang berpotensi melanggar hukum dan HAM di tengah pandemi, seperti penggusuran. Ia beralasan akses masyarakat lebih kecil jika dibandingkan dengan pemerintah atau perusahaan dalam memperjuangkan keadilan dalam sebuah konflik. Karena itu, kami berpendapat semua keputusan pemerintah terkait konflik pada masa pandemi ini ditunda atau dibatalkan dahulu. Walaupun ada kesimpangsiuran hukum di sini, tapi ini saat pandemi, saat yang tidak tepat melakukan penataan ataupun penggusuran yang mempengaruhi perekonomian masyarakat yang memburuk di era pandemi, ini sesuai dengan adagium hukum keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi atau Salus Populi Suprema Lex Esto.

Lalu kita kembali dipertontonkan kembali ada gejolak demokrasi di partai putih dengan dugaan pemberhentian cacat hukum pemimpin legislatif sebagaimana diberitakan lenterarakyat.id pada 24 September 2021 – 14:19 WIB dengan wawancara  M.Ifra Fauzan. SH.I yang merupakan pengacara Herman Sofyan yang menyatakan bahwa gugatan melalui Mahkamah Partai terkait pemberhentian Herman Sofyan sebagai Ketua DPRD Bukittinggi telah dilayangkan, tetapi belum ada tanggapan, namun Gubernur Sumbar tetap menerbitkan SK Pemberhentian, sedangkan upaya hukum sedang dilakukan, selaiknya Gubernur Sumbar menghormati upaya hukum dari pada Herman Sofyan.

Dari rangkaian tindakan yang diduga tidak demokratis di atas jika kita kaji seharusnya mendorong masyarakat untuk menghasilkan bibit pemimpin baru di 2024 tentu saja di dukung dengan manajemen partai yang memperbaiki rekrutmen dan kaderisasi dari kader partai politik dengan mengedepankan proses demokratis. Karena berdasarkan pernyataan Ketua MPR Bambang Soesatyo di detik.com pada Minggu, 18 Okt 2020 untuk mendorong lahirnya bibit pemimpin baru berkualitas di pilkada serentak 2024 nanti dengan mengutip Kajian Negara Institute menyatakan pada hasil Pilkada tahun 2015, 2017, dan 2018 mencatat dari seluruh kepala daerah yang bermasalah, ternyata sebagian besar bukan berasal dari kader partai politik. Tercatat 56 kepala daerah non kader politik telah mendapatkan putusan tetap dari pengadilan.

Kejadian ini pada satu sisi menggugurkan anggapan kandidat dari partai politik identik dengan masalah hukum, namun di sisi lain juga menunjukkan partai politik harus membenahi pola rekrutmen dan kaderisasi. Di sini tersimpan pesan bahwa kader yang telah melewati kaderisasi secara demokratis telah memiliki keterikatan emosional dengan partai politik. Dan, ketika terpilih memegang amanah sebagai pemimpin, kandidat tak melupakan ideologi dan perjuangan partai yang bermuara pada kesejahteraan rakyat, bukan kesejahteraan pribadi ataupun golongan.

Apalagi Soekarno yang dahulu pernah berpesan untuk pentingnya mengamalkan demokrasi dalam bernegara dalam bukunya yang terkenal, Di Bawah Bendera Revolusi, 1964. Dari pesan Bung Karno dalam bukunya tersebut, terlihat bahwa Soekarno pada telah memberikan perhatian secara khusus terhadap demokrasi. Seharusnya setelah 76 Tahun merdeka dan 23 tahun era reformasi tindakan tidak demokratis tidak ada lagi. Oleh karena itu jika kita belajar dari pelajaran sejarah mulai dari orde lama, orde baru yang melahirkan orde reformasi kita belajar tindakan tidak demokratis akan melahirkan bibit pemimpin baru. Dan tidak tertutup kemungkinan, karena politik adalah seni kemungkinan dan rakyat selalu bergerak ingin perubahan serta akan mendukung pemimpin demokratis. Ini secara sosiologis akan mendorong lahirnya bibit pemimpin baru di Bukittinggi dan Indonesia di 2024 nanti.

Pemimpin merupakan salah satu unsur yang sangat penting dalam suatu kota dan negara. Setiap era dan setiap negeri ada pemimpinnya. Itu sebabnya, pemimpin baru juga harus lahir setiap saat. Semakin baik gaya kepemimpinan demokratis seorang pimpinan maka semakin  baik loyalitas bawahan, dimana pimpinan yang  mempunyai gaya kepemimpinan demokratis senantiasa akan memberikan segala upaya yang terbaik untuk masyarakat yang dipimpinnya.

Kehendak masyarakat untuk suatu perubahan dan lahirnya bibit pemimpin baru yang demokratis ini sejalan dengan perkembangan kehidupan kebangsaan dan ketatanegaraan Indonesia, maka dengan melalui amandemen UUD 1945, istilah negara hukum (rechtsstaat) secara jelas dan tegas disebutkan dalam Batang Tubuh UUD tahun 1945 yang sebelum amandemen hanya ditemukan dalam Penjelasan UUD 1945. Hal itu mempertegas komitmen bahwa Indonesia adalah negara hukum yang demokratis bukan negara kekuasaan yang otoriter. Indonesia sebagai negara hukum yang demokratis, maka kekuasaan manapun harus berlandaskan konstitusi.

Memang untuk mencari seorang pemimpin berkriteria seperti di atas sangat susah menemukannya. Namun, kita tidak boleh berputus asa mengupayakan agar muncul seorang pemimpin yang berkarakter demokratis, unggul, berhikmat, melayani, serta takut kepada Tuhan. Semua hal itu sangat berguna bagi seorang pemimpin dalam mengelola dan menyelesaikan segala persoalan yang dihadapi sebuah kota dan negara apalagi semua permasalahan yang muncul masa kini semakin pelik karena dipicu oleh percepatan revolusi teknologi informasi generasi kelima. Dampak perubahan teknologi informasi itu sangat dahsyat karena telah banyak mengubah tatanan bermasyarakat dan bernegara yang telah mapan sebelumnya.(*)

 

Bagikan:
Hubungi Pengacara